Jumat, 11 Mei 2012

skizofrenia

A. DEFINISI Di bawah ini merupakan berbagai definisi Skizofrenia: 1. Skizofrenia adalah kekacauan jiwa yang serius ditandai dengan kehilangan kontak pada kenyataan (psikosis), halusinasi, khayalan (kepercayaan yang salah), pikiran yang abnormal dan menggangu kerja dan fungsi sosial (DSM-IV-TR, 2008) 2. kizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai area fungsi individu, termasuk berpikir dan berkomunikassi, menerima dan menginterpretasikan realitas, merasakan dan menunjukkan emosi dan berperilaku dengan sikap yang tidak dapat diterima secara sosial (Durand dan Barlow, 2007) 3. Skizofrenia adalah penyakit otak yang timbul akibat ketidakseimbangan pada dopamine, yaitu salah satu sel kimia dalam otak. Ia adalah gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respon emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi normal, sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsangan panca indera) (Arif, 2006). Dari beberapa definisi di atas, penulis menyimpulkan bahwa Skizofrenia adalah gangguan jiwa serius yang bersifat psikosis sehingga penderita kehilangan kontak dengan kenyataan dan mempengaruhi berbagai fungsi individu, seperti afeksi dan kognitif. B. JENIS-JENIS SKIZOFRENIA Terdapat berbagai macam skizofrenia, yaitu sebagai berikut: 1. Skizofrenia simplex Yaitu skizofrenia yang sering timbul pertama kali pada masa pubertas (pada beberapa kasus). Gejala utamanya adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berpikir biasanya ditemukan, waham dan halusinasinya jarang sekali ada. 2. Jenis hebrefenik Yaitu jenis skizofrenia yang permulannya perlahan-lahan dan sering timbul pada masa remaja atau antara 15-25 tahun. Gejala yang menyolok ialah gangguan proses berfikir, gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi. 3. Jenis katatonik Yaitu jenis skizofrenia yang timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun, biasanya akut serta didahului oleh stres emosional. Skizofrenia jenis ini melibatkan aspek psikomotorik. Skizofrenia jenis katatonik terbagi menjadi 2, yaitu: a. Stupor Katatonik, merupakan gangguan di mana penderita tidak menunjukkan perhatian sama sekali pada lingkungan. Gejala yang muncul di antaranya adalah mutisme (kadang-kadang mata tertutup) dan muka tanpa mimik b.Gaduh Gelisah Katatonik, merupakan skizofrenia jenis katatonik di mana terdapat hiperaktivitas, tetapi tidak disertai dengan emosi dan rangsangan dari luar. 4. Jenis Paranoid Jenis skizofrenia ini agak berbeda dari jenis-jenis yang lain dalam jalannya jenis penyakit. Jenis ini mulai sesudah umur 30 tahun, penderita mudah tersinggung, cemas, suka menyendiri, agak congkak dan kurang percaya pada orang lain. Hal ini dilakukan penderita karena adanya waham kebesaran dan atau waham kejar ataupun tema lainnya disertai juga dengan halusinasi yang berkaitan. 5.Skizofrenia Residual Yaitu jenis skizofrenia dengan gejala mengalami gangguan proses berpikir, gangguan afek dan emosi, ganguan emosi serta gangguan psikomotor. Namun, tidak ada gejala waham dan halusinasi. Keadaan ini timbul sesudah beberapa kali serangan skizofrenia. 6. Jenis Skizo-Afektif Yaitu jenis skizofrenia yang selain gejala-gejalanya yang menonjol secara bersamaan juga gejala-gejala depresi atau gejala-gejala mania menyertai. Jenis ini cenderung untuk menjadi sembuh tanpa efek tetapi mungkin juga seringkali timbul lagi. C. SEBAB-SEBAB (BIOPSIKOSOSIALSPIRITUAL) Ada beberapa teori yang mungkin bisa menjelaskan penyebab skizofrenia. Adapun teori-teori tersebut seperti tersebut di bawah ini: 1. Teori Neurotransmitter Di dalam otak manusia terdapat berbagai macam neurotransmitter, yaitu substansi atau zat kimia yang bertugas menghantarkan impuls-impuls saraf. Ada beberapa neurotransmitter yang diduga berpengaruh terhadap timbulnya skizofrenia. Dua di antaranya yang paling jelas adalah neurotransmitter dopamine dan serotonin. Berdasarkan penelitian, pada pasien-pasien dengan skizofrenia ditemukan peningkatan kadar dopamine dan serotonin di otak secara relatif. Menurut Mesholam Gately et.al dalam jurnal Neurocognition in First-Episode Schizophrenia: A Meta Analytic Review (2009), gangguan neurokognisi adalah fitur utama pada episode pertama penderita skizofrenia. Gangguan tersebut membuat sistem kognisi tidak dapat bekerja seperti kondisi normal. 2. Teori Genetik Diduga faktor genetik juga berpengaruh terhadap timbulnya skizofrenia. Walaupun demikian, terbukti dari penelitian bahwa skizofrenia tidak diturunkan secara hukum Mendeell (jika orang tua skizofrenia, belum tentu anaknya skizofrenia juga). Dari penelitian didapatkan prevalensi sebagai berikut: a. Populasi umum 1% b. Saudara Kandung 8%-10% c. Anak dengan salah satu orang tua skizofrenia 12%-15% d. Kembar 2 telur (dizigot) 12%-15% e. Anak dengan kedua orang tua skizofrenia 35%-40% f. Kembar monozigot 47%-50% Sampai saat ini, belum ada hal yang pasti mengenai penyebab skizopfrenia. Namun demikian peneliti-peneliti meyakini bahwa interaksi antara genetika dan lingkungan yang menyebabkan skizofrenia. Menurut Imransyah, bahwa hanya 10% dari genetika yang dapat menyebabkan skizofrenia, sedangkan Hawari (Arif, 2006) mengakui bahwa skizofrenia dapat dipicu dari faktor genetik. Namun jika lingkungan sosial mendukung seseorang menjadi pribadi yang terbuka maka sebenarnya faktor genetika ini bisa diabaikan. Namun jika kondisi lingkungan mendukung seseorang bersikap asosial maka penyakit skizofrenia menemukan lahan suburnya. Penelitian lain dari Clarke et al yang berjudul Evidence for an Interaction Between Familial Liability and Prenatal Exposure to Infection in the Causation of Schizophrenia (2009), menyebutkan bahwa Komplikasi kelahiran dan keluarga yang memiliki resiko psikotik terbukti menyebabkan skizofrenia dengan persentase resiko 38% - 46%. 3. Predisposisi Genetika Meskipun genetika merupakan faktor resiko yang signifikan, belum ada penanda genetika tunggal yang diidentifikasi. Kemungkinan melibatkan berbagai gen. Penelitian telah berfokus pada kromosom 6, 13, 18, dan 22. Resiko terjangkit skizofrenia bila gangguan ini ada dalam keluarga, yaitu satu orang tua yang terkena 12%-15%, kedua orang tua terkena penyakit ini resiko 35%-40%, saudara sekandung terjangkit resiko 8%-10%, kembar dizigotik yang terkena resiko 12%-15%, bila kembar monozigotik yang terkena resiko 47%- 50%. Para ilmuwan sudah lama mengetahui bahwa skizofrenia diturunkan, 1% dari populasi umum tetapi 10% pada masyarakat yang mempunyai hubungan derajat pertama seperti orang tua, kakak laki laki ataupun perempuan dengan skizofrenia. Masyarakat yang mempunyai hubungan derajat ke dua seperti paman, bibi, kakek / nenek dan sepupu dikatakan lebih sering dibandingkan populasi umum. Kembar identik 40% sampai 65% berpeluang menderita skizofrenia sedangkan kembar dizigotik 12%. Anak dan kedua orang tua yang skizofrenia berpeluang 40%, satu orang tua 12 % (Makalah pembahas). Lenzenweger, Mark et al. dalam jurnal Resolving The Latent Structure of Schizophrenia Endophenotypes Using Expectation-Maximization-Based Finite Mixture Modelling (2007) melakukan penelitian mengenai struktur laten fenotip pada beberapa subjek yang diindikasikan skizofrenia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek tersebut memiliki kecenderungan kepribadian skizotipal yang sangat berpotensi untuk mengarah pada gangguan psikotik. 4. Abnormalitas Perkembangan Syaraf Penelitian menunjukkan bahwa malformasi janin minor yang terjadi pada awal gestasi berperan dalam manifestasi akhir dari skizofrenia. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan saraf dan diidentifikasi sebagai resiko yang terus bertambah, meliputi individu yang ibunya terserang influenza pada trimester kedua, individu yang mengalami trauma atau cedera pada waktu dilahirkan, dan penganiayaan atau trauma di masa bayi atau masa anak-anak. 5. Abnormalitas Struktur dan aktivitas Otak Pada beberapa subkelompok penderita skizofrenia, teknik pencitraan otak (CT, MRI, dan PET) telah menujukkan adanya abnormalitas pada struktur otak yang meliputi pembesaran ventrikel, penurunan aliran darah ventrikel, terutama di korteks prefrontal penurunan aktivitas metaolik di bagian-bagian otak tertentu atrofi serebri. Ahli neurologis juga menemukan pemicu dari munculnya gejala skizofrenia. Pada para penderita skizofrenia diketahui bahwa sel-sel dalam otak yang berfungsi sebagai penukar informasi mengenai lingkungan dan bentuk impresi mental jauh lebih tidak aktif dibanding orang normal. Temuan ini bisa menjabarkan dan membantu pengobatan munculnya halunisasi dan gangguan pemikiran pasien skizofrenia, demikian menurut tim dari Harvard Medical School. Pada saat yang sama para ilmuwan memonitor gelombang otak partisipan dengan menggunakan alat electroencephalogram (EEG) yang bisa memberi informasi aktivitas elektrik otak. Kedua kelompok memberi respon terhadap gambar-gambar tersebut selama satu detik saja. Namun mereka yang menderita skizofrenia membuat lebih banyak kesalahan dan membutuhkan waktu lebih banya 200 milidetik dibanding yang sehat. Ketika para ilmuwan mengamati pola gelombang otak, mereka menemukan bahwa pasien skizofrenia memperlihatkan tidak adanya aktivitas pasti dalam gelombang otakknya ketika menekan tombol-tombol jawaban. Sementara partisipan yang sehat memiliki aktivitas gelombang gama yang bisa menjadi identifikasi bahwa otak mereka memproses informasi visual sebagai petunjuk responnya. “Ada perbedaan yang sangat dramatis. Para penderita skizofrenia tidak memperlihatkan respons gama sama sekali”, komentar Dr. Robert McCarley, pemimpin studi. Jika komunikasi yang paling efisien terjadi pada gelombang 40 hertz, maka penderita skizofrenia menggunakan frekuensi yang jauh lebih rendah. Ini sama saja artinya dengan mereka tidak mempunyai proses komunikasi yang efektif pada sel penukar informasi dan bagian otaknya. 6. Ketidakseimbangan Neurokimia (neurotransmitter) Skizofrenia memiliki basis biologis, seperti halnya penyakit kanker dan diabetes. Penyakit ini muncul karena ketidakseimbangan yang terjadi pada dopamine, yakni salah satu sel kimia dalam otak (neurotransmitter). Otak sendiri terbentuk dari sel saraf yang disebut neuron dan kimia yang disebut neurotransmitter. Penelitian terbaru bahkan menunjukkan serotonin, norepinefrin, glutamate, dan GABA juga berperan dalam menimbulkan gejala-gejala skizofrenia. Majorie Wallace, pimpinan eksekutif yayasan Skizofrenia SANE, London, berkomentar bahwa, di dalam otak terdapat miliaran sambungan sel. Setiap sambungan sel menjadi tempat untuk meneruskan maupun menerima pesan dari sambungan sel lainnya. Sambungan sel tersebut melepaskan zat kimia yang disebut neurotransmitter yang menbawa pesan dari ujung sambungan sel yang satu ke ujung sambungan sel yang lain. Di dalam otak penderita skizofrenia, terdapat kesalahan atau kerusakan pada sistem komunikasi tersebut. Biasanya mereka mengalami halusinasi. Halusinasi selalu terjadi saat rangsangan terlalu kuat dan otak tidak mampu menginterpretasikan dan merespons pesan atau rangsangan yang datang. Penderita skizofrenia mungkin mendengar suara-suara atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada, atau mengalami suatu sensasi yang tidak biasa pada tubuhnya. Auditory hallucinations, gejala yang biasanya timbul, yaitu penderita merasakan ada suara dari dalam dirinya. Kadang suara itu dirasakan menyejukkan hati, memberi kedamaian, tapi kadang suara itu menyuruhnya melakukan sesuatu yang sangat berbahaya, seperti bunuh diri. Gejala lain adalah menyesatkan pikiran atau delusi, yakni kepercayaan yang kuat dalam menginterpretasikan sesuatu yang kadang berlawanan dengan kenyataan. Misalnya, pada penderita skizofrenia, lampu lalu lintas di jalan raya yang berwarna merah kuning hijau, dianggap sebagai suatu isyarat dari luar angkasa. 7. Proses Psikososial dan Lingkungan Proses psikososial dan lingkungan juga sangat berpengaruh untuk menyebabkan skizofrenia. Setiap orang pada umumnya memiliki kecenderungan untuk skizofrenia 1%. Pada individu yang memiliki hubungan dekat dengan seseorang yang terjangkit skizofrenia, kecenderungannya sekitar 10%. Jika seseorang hidup dalam lingkungan yang mendukung asosial, kemungkinan seseorang untuk mengidap skizofrenia tinggi. Namun bila sedeorang hidup dalam lingkungan yang terbuka, walaupun secara genetik dia memiliki kecenderungan skizofrenia, hal itu bisa diminimalisisr bahkan dihilangkan. D.PERSPEKTIF ALIRAN-ALIRAN Berbagai cara dilakukan untuk memahami dan mengatasi skizofrenia. Dalam perspektif psikologis, khususnya perspektif psikodinamik dan perkembangan, diyakini bahwa skizofrenia bukanlah gangguan yang terjadi secara langsung dan tiba-tiba melainkan merupakan hasil suatu proses panjang. Proses berakar pada gangguan relasi yang paling awal, yaitu antara bayi dan caregiver-nya (McGlashan; Arif, 2006). Sementara itu teori keluarga menjelaskan bawah beberapa pasien skizofrenia sebagaimana orang mengalami penyakit non-psikiatrik berasal dari keluarga dengan disfungsi. Selain itu, hal yang juga relevan adalah perilaku keluarga yang patologis, yang secara signifikan meningkatkan stress emosional yang harus dihadapi oleh pasien skizofrenia (makalah pembahas). Gangguan dini dalam relasi ini kemudian mengakibatkan kerentanan dan berujung pada kerusakan yang berat bagi individu yang bersangkutan. Interaksi bayi dengan pengasuh atau bahkan ibunya (yang menjadi primary object) harus menghasilkan ruang psikologis yang memadai untuk pertumbuhan kepribadiannya. Demikian juga dengan anggota keluarga lainnya yang mungkin akan menjadi external object relations pertama bagi si bayi (bila bayi tumbuh di lingkungan keluarganya). Respon positif terhadap keberadaan bayi tersebut akan meneguhkan dan membentuk kepribadian yang sehat pada bayi tersebut. Kepribadian yang sehat ini kelak ditandai dengan coping yang baik terhadap masalah yang dihadapi. Dari perspektif behavioral dijelaskan bahwa patologi terjadi karena proses belajar yang salah. Hal ini berkaitan dengan perspektif kognitif yang menjelaskan bahwa patologi terjadi karena keyakinan dan proses kognitif yang salah, yang bisa jadi karena proses belajar yang salah juga. Prinsip reward dan punishment pada proses belajar juga akan terkait dengan pengaktualisasian potensi yang dibatasi jika individu terlalu banyak mendapat punishment saat belajar, sehingga patologi muncul. Jika skizofrenia ditilik dari perspektif humanistik, maka pasti ada pembatasan aktualisasi diri yang berlebihan pada diri penderita gangguan psikotik ini (Alwisol, 2007). Sementara jika ditilik dari perspektif spiritual Islami, penderita gangguan psikotik adalah hasil dari ketidakseimbangan kesehatan mental, kesehatan sosial, kesehatan spiritual, kesehatan finansial, dan kesehatan fisik. Menurut perspektif spiritual Islami, manusia akan sehat secara holistik jika mampu menyeimbangkan seluruh aspek kesehatan yang dimiliknya (Adz Zakiey, 2007). Dari penjabaran di atas, jelas bahwa diperlukan multiperspektif untuk menjelaskan skizofrenia secara tepat. E. GEJALA Ada banyak gejala-gejala skizofrenia. Gejala-gejala ini dirumuskan oleh berbagai sumber. Menurut Diagnostic and Statistical Manual Of Mental Disorder IV-TR, gejala khas skizofrenia berupa adanya: 1. Waham atau Delusi (keyakinan yang salah dan tidak bisa dikoreksi yang tidak sesuai dengan kenyataan, maupun kepercayaan, agama, dan budaya pasien atau masyarakat umum) 2. Halusinasi (persepsi panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar) 3. Pembicaraan kacau 4. Perilaku kacau 5. Gejala negatif (misalnya berkurangnya kemampuan mengekspresikan emosi, kehilangan minat, penarikan diri dari pergaulan sosial) Selain itu untuk menegakkan diagnosa skizofrenia menurut DSM IV-TR (2008) adalah munculnya disfungsi sosial, durasi gejala khas paling sedikit 6 bulan, tidak termasuk gangguan perasaan (mood), tidak termasuk gangguan karena zat atau karena kondisi medis, dan bila ada riwayat Autistic Disorder atau gangguan perkembangan pervasive lainnya, diagnosis skizofrenia dapat ditegakkan bila ditemui halusinasi dan delusi yang menonjol selama paling tidak 1 bulan. Menurut Bleuler, ada 2 kelompok gejala-gejala skizofrenia, yaitu: 1. Gejala Primer, yang meliputi: a. Gangguan proses pikiran (bentuk, langkah dan isi pikiran). Pada skizofrenia inti, gangguan memang terdapat pada proses pikiran. b. Gangguan afek dan emosi. Gangguan ini pada skizofren berupa: 1) Parathimi, yaitu apa yang seharusnya menimbulkan rasa senang dan gembira, pada penderita malah menimbulkan rasa sedih atau marah. 2) Paramimi, yaitu penderita merasa senang tetapi menangis c. Gangguan kemauan, yaitu gangguan di mana banyak penderita skizofrenia memiliki kelemahan kemauan. Mereka tidak dapat mengambil keputusan dan tidak dapat bertindak dalam sebuah situasi menekan. Gangguan kemauan yang timbul antara lain: 1) Negativisme, yaitu sikap atau perbuatan yang negatif atau berlawanan terhadap suatu permintaan. 2) Ambivalensi, yaitu sikap yang menghendaki seseuatu yang berlawanan pada waktu yang bersamaan. 3) Otomatisme, yaitu penderita merasa kemauannya dipengaruhi oleh orang lain atau oleh tenaga dari luar, sehingga dia melakukannya secara otomatis. d. Gejala psikomotor, disebut juga dengan gejala-gejala katatonik. Sebetulnya gejala katatonik sering mencerminkan gangguan kemauan. Bila gangguan hanya ringan saja, maka dapat dilihat gerakan-gerakan yang kurang luwes atau agak kaku. 2. Gejala Sekunder, yang meliputi: a.Waham. Pada penderita skizofrenia waham sering tidak logis sama sekali dan sangat bizar. Tetapi penderita tidak menginsafi hal ini dan untuk dia wahamnya merupakan fakta dan tidak dapat diubah oleh siapapun. b. Halusinasi. Pada penderita skizfrenia, halusinasi timbul tanpa penurunan kesadaran dan hal ini merupakan suatu gejala yang hampir tidak dijumpai pada keadaan lain. Menurut Bleuler, seseorang didioagnosa menderita skizofrenia apabila terdapat gangguan-gangguan primer dan disharmoni pada unsur-unsur kepribadian yang diperkuat dengan adanya gejala-gejala sekunder. Menurut Kut Schneider, terdapat 11 gejala skizofrenia yang terdiri dari 2 kelompok, yaitu sebagai berikut: 1. Kelompok A, halusinasi pendengaran, yaitu: a. Pikirannya dapat didengar sendiri b. Suara-suara yang sedang bertengkar c. Suara-suara yang mengomentari perilaku penderita 2. Kelompok B, gangguan batas ego, yang meliputi: a. Tubuh dan gerakan penderita dipengaruhi oleh kekuatan dari luar b. Pikirannya diambil keluar c. Pikirannya dipengaruhi oleh orang lain d. Pikirannya diketahui oleh orang lain e. Perasaannya dibuat oleh orang lain f. Kemauannya dipengaruhi orang lain g. Dorongannya dikuasai orang lain h. Persepsi yang dipengaruhi oleh waham Menurut Kut Schneider, seseorang bisa didiagnosa penderita skizofrenia bila ada gejala dari kelompok A dan Kelompok B, dengan syarat kesadaran penderita tidak menurun. Gejala lain yang diungkap adalah: 1. Gejala-Gejala Positif, yaitu penambahan fungsi dari batas normal, meliputi: a. Delusi. Delusi adalah keyakinan yang oleh kebanyakan orang dianggap misinterpretasi terhadap realitas. Delusi memiliki bermacam-macam bentuk, yaitu delusion of grandeur (waham kebesaran) yaitu keyakinan irasional mengenai nilai dirinya, delusion of persecution yaitu yakin dirinya atau orang lain yang dekat dengannya diperlakukan dengan buruk oleh orang lain dengan cara tertentu, delusion of erotomanic yaitu keyakinan irasional bahwa penderita dicintai oleh seseorang yang lebih tinggi statusnya, delusion of jealous yaitu yakin pasangan seksualnya tidak setia, dan delusion of somatic yaitu merasa menderita cacat fisik atau kondisi medis tertentu. b. Halusinasi Gejala-gejala psikotik dari gangguan perseptual dimana berbagai hal dilihat didengar, atau diindera meskipun hal-hal itu tidak real (benar-benar ada). 2. Gejala-Gejala Negatif, yaitu pengurangan fungsi dari batas normal, meliputi: a. Avolisi Yaitu apati atau ketidakmampuan untuk memulai atau mempertahankan kegiatan-kegiatan penting. b. Alogia Yaitu pengurangan dalam jumlah atau isi pembicaraan. c. Anhedonia Yaitu ketidakmampuan untuk mengalami kesenangan yang terkaitu dengan beberapa gangguan suasana perasaan dan gangguan skizofrenik. d. Afek Datar Yaitu tingkah laku yang tampak tanpa emosi. 3. Gejala Disorganisasi, yaitu ketidakharmonisan fungsi, meliputi: a. Disorganisasi dalam pembicaraan (Disorganized Speech) Gaya bicara yang sering terlihat pada penderita skizofrenia termasuk inkoherensi dan ketiadaan pola logika yang wajar. b. Afek yang tidak pas (inappropriate Affect) dan perilaku yang disorganisasi Afek yang tidak pas merupakan ekspresi emosi yang tidak sesuai dengan aslinya. Perilaku yang disorganisasi adalah perilaku yang tidak lazim. Untuk mendiagnosa seseorang skizofrenia, seseorang harus menunjukkan 2 atau lebih gejala positif, negatif, atau disorganisasi dengan porsi yang besar selama paling sedikit 1 bulan. Tanda awal skizofrenia seringkali terlihat saat kanak-kanak. Tanda-tanda tersebut perlu untuk diketahui untuk membedakan gejala skizofrenia pada anak dengan proses belajar anak yang masih dalam bentuk bermain. Anak seringkali berimajinasi tentang peran-peran baru dalam permainannya, namun hal tersebut bukanlah sebuah gangguan. Indikator premorbid (pra-sakit) pada anak pre-skizofrenia antara lain: 1. Ketidakmampuan anak mengekspresikan emosi (wajah dingin, jarang tersenyum, tak acuh) 2. Penyimpangan komunikasi (anak sulit melakukan pembicaraan terarah) 3. Gangguan atensi (anak tidak mampu memfokuskan, mempertahankan, serta memindahkan atensi) Adapun gejala awal yang terlihat pada tahap-tahap tertentu dalam perkembangan adalah sebagai berikut: 1. Pada anak perempuan, tampak sangat pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial, tidak bisa menikmati rasa senang, dan ekspresi wajah sangat terbatas 2. Pada anak laki-laki, sering menantang tanpa alasan jelas, menggangu, dan tidak disiplin 3. Pada bayi, biasanya terdapat problem tidur makan, gangguan tidur kronis, tonus otot lemah, apatis, dan ketakutan terhadap objek atau benda yang bergerak cepat 4. Pada balita, terdapat ketakutan yang berlebihan terhadap hal-hal baru seperti potong rambut, takut gelap, takut terhadap label pakaian, takut terhadap benda-benda bergerak 5. Pada anak usia 5-6 tahun, mengalami halusinasi suara seperti mendengar bunyi letusan, bantingan pintu atau bisikan, juga halusinasi visual seperti melihat adanya sesuatu yang bergerak meliuk-liuk, ular, bola-bola bergelindingan, lintasan cahaya dengan latar belakang warna gelap. Anak terlihat bicara atau tersenyum sendiri, menutup telinga, sering mengamuk tanpa sebab. F. ONSET Siapa saja bisa terkena skizofrenia, tanpa memandang jenis kelamin, status sosial maupun tingkat pendidikan. Usia terbanyak berdasarkan statistik adalah 15-30 tahun, dimana gejala skizofrenia mulai muncul pada umur 20 tahun untuk pria, sedangkan untuk wanita gejala-gejala skizofrenia mulai muncul pada umur 20 tahun atau awal umur 30 tahun. Namun, pada saat ini juga mulai dikenal skizofrenia anak (sekitar usia 8 tahun, bahkan ada kasus usia 6 tahun) dan late-onset skizofrenia (usia lebih dari 45 tahun). Berbagai hal lain yang bisa meningkatkan seseorang untuk mengidap skizofrenia, yaitu memiliki garis keturunan skizofrenia, terjangkit virus saat dalam kandungan, kekurangan gizi saat dalam kandungan, stresor lingkungan yang tinggi, memakai obat-obatan psikoaktif saat remaja, dan lain-lain. Penulis mendapatkan sumber kasus onset dini skizofrenia dari DSM-IV-TR (2008). Sumber tersebut tidak menjelaskan secara rinci bagaimana kasus dan waktu terjadinya. Sumber hanya menerangkan bahwa memang ada kesulitan untuk mendiagnosis anak yang terkena skizofrenia, terutama pada fitur visual halusinasi. Penulis mencoba memberikan contoh kasus ini dari film Pans Labirynth,dimana ada seorang anak yang sering “bermain” dengan dunia peri namun juga memiliki keluarga di dunia nyata. Anak tersebut benar-benar tidak dapat membedakan mana dunia nyata dan dunia delusi. Sementara itu menurut Kaplan, Sadock, & Grebb; Davison & Neale ( Fausiah & Widur; makalah pembahas) onset untuk laki laki 15 sampai 25 tahun sedangkan wanita 25-35 tahun. Prognosisnya adalah lebih buruk pada laki laki dibandingkan wanita. Sedangkan onset skizofrenia sebelum usia 10 tahun atau setelah usia 50 tahun sangat jarang terjadi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pria lebih mungkin memunculkan simton negatif dibandingkan wanita, dan wanita tampaknya memiliki fungsi sosial yang lebih baik daripada pria. Pada kesimpulannya individu pada umur berapapun rawan menderita skizofrenia bila faktor biologis berinteraksi dengan faktor psikologis dan sosial. G. PREVALENSI Prevalensi (kemungkinan terjadi) gangguan skizofrenia dapat dilihat pada daftar di bawah ini: 1. Populasi umum 1% 2. Saudara Kandung 8%-10% 3. Anak dengan salah satu orang tua skizofrenia 12%-15% 4. Kembar 2 telur (dizigot) 12%-15% 5. Anak dengan kedua orang tua skizofrenia 35%-40% 6.Kembar monozigot 47%-50% H. TERAPI 1. Terapi Biologis/Medis Sejak tahun 1990-an telah ditemukan obat bagi penderita skizofrenia. Obat yang disebut Neuroleptics ini mampu mengurangi gejala kegilaan yang muncul pada penderita skizofrenia. Menurut Hawari, obat skizofrenia versi lama hanya menyembuhkan gejala positif skizofrenia, seperti gampang mengamuk dan gemar berteriak-teriak. Sayangnya, obat tersebut tidak menyembuhkan gejala negatif. Penderita skizofrenia yang mengonsumsi obat versi lama masih sering tampak bengong dan gemar melamun. Sementara obat skizofrenia versi baru, menurut Hawari (Arif, 2006), berhasil menyembuhkan gejala-negatif sekaligus positif. Obat bagi penderita skizofrenia biasa disebut neuroleptics (berarti mengendalikan syaraf). Jika efektif, obat ini mampu membantu orang untuk berpikir lebih jernih dan mengurangi delusi atau halusinasi. Obat ini bekerja dengan cara mempengaruhi gejala positif (delusi, halusinasi, agitasi). Dalam kadar yang lebih rendah, obat ini dapat mempengaruhi gejala-gejala negatif dan disorganisasi. Fungsi neuroleptics adalah antagonis dopamin. Seperti diketahui bahwa jumlah dopamine yang berlebihan menjadi pemicu munculnya skizofrenia. Penelitian dalam Journal of Psychiatry menyebutkan bahwa penggunaan milnacipran mampu menghambat afek negative skizofrenia seperti avolisi, alogia, dan asocial. Kasus ini terjadi pada penderita skizofrenia berusia 37 tahun yang dirawat di rumah sakit jiwa (Hoaki et al, 2009) 2. Terapi Keluarga Selain terapi obat, psikoterapi keluarga adalah aspek penting dalam pengobatan. Pada umumnya, tujuan psikoterapi adalah untuk membangun hubungan kolaborasi antara pasien, keluarga, dan dokter atau psikolog. Melalui psikoterapi ini, maka pasien dibantu untuk melakukan sosialisasi dengan lingkunganya. Keluarga dan teman merupakan pihak yang juga sangat berperan membantu pasien dalam bersosialisasi. Dalam kasus skizofrenia akut, pasien harus mendapat terapi khusus dari rumah sakit. Kalau perlu, ia harus tinggal di rumah sakit tersebut untuk beberapa lama sehingga dokter dapat melakukan kontrol dengan teratur dan memastikan keamanan penderita. Tapi sebenarnya, yang paling penting adalah dukungan dari keluarga penderita, karena jika dukungan ini tidak diperoleh, bukan tidak mungkin para penderita mengalami halusinasi kembali. Menurut Dadang, sejumlah penderita skizofrenia juga sering kambuh meski telah menyelesaikan terapi selama enam bulan. Karena itu, agar halusinasi tidak muncul lagi, maka penderita harus terus menerus diajak berkomunikasi dengan realitas. Namun, keluarga juga tidak boleh berlebih-lebihan dalam memperlakukan penderita skizofrenia. Menurut dr. LS Chandra, SpKJ, penderita skizofrenia memerlukan perhatian dan empati, namun keluarga perlu menghindari sikap expressed emotion (EE) atau reaksi berlebihan seperti sikap terlalu mengkritik, memanjakan, dan terlalu mengontrol yang justru bisa menyulitkan penyembuhan. Seluruh anggota keluarga harus berperan dalam upaya dukungan bagi penderita skizofrenia. Upaya membentuk self help group di antara keluarga yang memiliki anggota keluarga skizofrenia adalah sebuah langkah positif (Arif, 2006). Kelompok pembahas menyajikan terapi kelompok sebagai salah satu terapi untuk skizofrenia. Menurut penulis, pemberian terapi kelompok pada penderita skizofrenia kurang tepat. Alasan utama adalah terapi kelompok biasa digunakan pada proses rehabilitasi pecandu narkotika (dalam proses penyembuhan). Konsep dasar terapi kelompok adalah mediasi masalah dalam kelompok, dinamikan kelompok, atau outbond (dengan individu yang mengalami masalah yang sama). Bagaimana mungkin penderita skizofrenia bisa melakukan hal-hal di atas? Kelompok pembahas menyajikan beberapa hal sebagai berikut tentang terapi kelompok: 1. Memberikan pendidikan tentang skizofrenia, termasuk simtom dan tanda-tanda kekambuhan. 2. Memberikan informasi tentang dan memonitor efek pengobatan dengan antipsikotik. 3. Menghindari saling menyalahkan dalam keluarga. 4. Meningkatkan komunikasi dan ketrampilan pemecahan masalah dalam keluarga. 5. Mendorong pasien dan keluarga untuk mengembangkan kontak sosial mereka, terutama berkaitan dengan jaringan pendukung. 6. Meningkatkan harapan bahwa segala sesuatu membaik, dan pasien mungkin tidak harus kembali ke rumah sakit. Poin ke 3, 4, dan 5 sebenarnya adalah bagian dari proses terapi keluarga. Jadi mungkin masih ada kerancuan pada kelompok pembahas mengenai konsep dasar terapi kelompok dan terapi keluarga. 3. Terapi Psikososial Salah satu efek buruk skizofrenia adalah dampak negatif pada kemampuan orang untuk berinteraksi dengan orang lain. Meskipun tidak sedramatis halusinasi dan delusi, masalah ini dapat menimbulkan konflik dalam hubungan sosial. Para klinisi berusaha mengajarkan kembali berbagai keterampilan sosial seperti keterampilan percakapan dasar, asertivitas, dan cara membangun hubungan pada penderita skizofrenia. Klien juga diberikan terapi okupasi sebagai bagian untuk membantu mereka melaksanakan tugas sederhana dalam kehidupan sehari-hari (Smith, Bellack, dan Liberman, 1996; Durand dan Barlow, 2007) 4. Psikoterapi Islami Psikologi Islami, dalam Jurnal Psikologi Islami, juga memberikan metode terapi untuk mengatasi gangguan kejiwaan berat. Psikoterapi doa sebenarnya dilakukan oleh klien yang mengalami gangguan kecemasan. Namun dalam konteks skizofrenia, keluarga harus senantiasa memberikan terapi doa untuk penderita skizofrenia. Doa diyakini sebagai cara yang ampuh untuk mengalirkan energi positif dari alam kepada manusia (Urbayatun, 2006). Perspektif spiritual dalam psikologi Islami meyakini bahwa ada yang salah dalam qalbu manusia sehingga ia terkena gangguan psikotik. Terapi psikotik dilakukan dengan cara menyucikan jiwa individu, baru kemudian jiwa tersebut diisi dengan kebaikan (oleh terapis). I. PREVENSI Skizofrenia memiliki basis/dasar biologis, seperti halnya penyakit kanker dan diabetes. Penyakit ini muncul karena ketidakseimbangan yang terjadi pada dopamine, yakni salah satu sel kimia dalam otak (neurotransmitter). Otak sendiri terbentuk dari sel saraf yang disebut neuron dan kimia yang disebut neurotransmitter. Penelitian terbaru bahkan menunjukkan serotonin, norepinefrin, glutamate, dan GABA juga berperan dalam menimbulkan gejala-gejala skizofrenia. Menurut Durand (2007), prevalensi penderita skizofrenia dari populasi umum adalah 0,2% sampai 1,5%. Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa setiap individu memiliki risiko untuk terkena gangguan psikotik ini. Ketidakseimbangan neurotransmitter dapat dicegah dengan cara tidak selalu mengonsumsi obat-obat psikoaktif. Pemakaian obat-obatan psikoaktif yang terlalu sering dapat menyebabkan gangguan halusinasi dan delusi (Durand, 2007). Secara psikososial, penderita skizofrenia harus diterima dengan baik oleh pihak keluarga. Karena penderita skizoferia sebenarnya tidak dapat menerima emosi yang berlebihan dari orang lain (Durand, 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa intervensi sejak dini merupakan hal yang penting dan bermanfaat dalam mempengaruhi perjalanan penyakit skizofrenia selanjutnya. Sehingga pengobatan secara benar dan penyediaan dukungan serta informasi bagi pasien serta keluarga dapat mencegah kekambuhan di masa yang akan datang (Fausiah & Widury; makalah pembahas) Salah satu strategi untuk mencegah gangguan seperti skizofrenia (yang biasanya tampak pada masa dewasa awal) adalah dengan mengidentifikasi dan menangani anak-anak yang mungkin beresiko untuk mengalami gangguan ini di masa dewasanya kelak. (Durand & Barlow, 2007) Selain itu, faktor-faktor seperti komplikasi kelahiran dan beberapa penyakit usia dini (misalnya, virus) dapat memicu onset skizofrenia, terutama di kalangan mereka yang secara genetik telah terdisposisi. Jadi, intervensi-intervensi seperti vaksinasi berbagai macam virus untuk perempuan usia subur dan intervensi-intervensi yang berhubungan dengan perbaikan nutrisi dan perawatan prenatal mungkin merupakan ukuran-ukuran preventif yang efektif (McGrath, dalam Durand & Barlow, 2006). Ada tiga bentuk pencegahan primer. Pertama, pencegahan universal, ditujukan kepada populasi umum agar tidak terjadi faktor risiko. Caranya adalah mencegah komplikasi kehamilan dan persalinan. Kedua, pencegahan selektif, ditujukan kepada kelompok yang mempunyai risiko tinggi dengan cara, orang tua menciptakan keluarga yang harmonis, hangat, dan stabil. Ketiga, pencegahan terindikasi, yaitu mencegah mereka yang baru memperlihatkan tanda-tanda fase prodromal tidak menjadi skizofrenia yang nyata, dengan cara memberikan obat antipsikotik dan suasana keluarga yang kondusif (makalah pembahas). J. KUALITAS HIDUP PENDERITA Perspektif rentang dan kualitas hidup dapat mengungkap sebagian dari perkembangan penderita skizofrenia. Salah satu di antara beberapa studi adalah penelitian jangka panjang selama 40 tahun. Temuan umum mereka adalah bahwa orang dewasa yang lebih tua cenderung memperlihatkan lebih sedikit gejala positif, seperti delusi dan halusinasi, dan lebih banyak gejala positif, seperti delusi dan halusinasi dan lebih banyak gejala negatif, seperti kesulitan berbicara dan kognitif. Pada intinya, kualitas hidup penderita skizofrenia ditentukan oleh dukungan keluarga dan dukungan sosial yang ia terima (Belitsky dan McGlashan; Durand, 2007). Menurut Durand dan Barlow (2007), penderita skizofrenia tipe paranoia memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan tipe lainnya. Hal ini disebabkan oleh keterampilan afeksi dan kognitif penderita yang relative tidak terganggu. Sementara itu Kaplan, Sadock, & Grebb; Davison & Neale (Fausiah & Widur; makalah pembahas) menjelaskan bahwa prognosis laki-laki lebih buruk dibandingkan wanita. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pria lebih mungkin memunculkan simton negatif dibandingkan wanita, dan wanita tampaknya memiliki fungsi sosial yang lebih baik daripada pria. K.AYAT AL QURAN DAN HADIST                     41. Dan ingatlah akan hamba kami Ayyub ketika ia menyeru Tuhan-nya: "Sesungguhnya Aku diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan". 42. (Allah berfirman): "Hantamkanlah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum". (QS Shad (38) 41-42) Dalam konteks skizofrenia, gangguan psikotik dapat mucul ketika ada stimulus biologis dan lingkungan. Syaithan, dalam bahasa Indonesia dipadankan dengan setan, berarti adalah sifat buruk yang berada pada makhluk. Penderita skizofrenia membutuhkan dukungan keluarga dan dukungan sosial yang besar. Ketika “setan” itu berwujud pada bentuk keluarga dan lingkungan yang tidak mendukung, maka gangguan psikotik ini akan terus terjadi tanpa pengurangan gejala. L. CONTOH KASUS Film Pan’s Labyrinth Film ini menceritakan seorang anak bernama Ofelia yang hidup pada masa perang antara Jenderal Franco yang diktator dan pengikutnya dengan pasukan pemberontak gerilya di Spanyol. Ibu Ofelia, Carmen, baru menikah dengan salah seorang kapten perang bawahan Jenderal Franco bernama Kapten Vidal. Pada masa mengandung anak Kapten Vidal, Carmen dan Ofelia diminta untuk tinggal di tempat penggilingan merangkap rumah peristirahatan milik Kapten Vidal. Kapten Vidal menginginkan anaknya kelak lahir di tempat dia pernah tumbuh. Perjalanan yang jauh dari kota tempat Ofelia tinggal menuju rumah peristirahatan membuat kondisi kandungan Carmen menjadi lemah. Peraturan-peraturan ketat yang dibuat oleh oleh Kapten Vidal di rumahnya serta dorongan dari ibunya untuk selalu menuruti apa yang Kapten Vidal perintahkan, membuat Ofelia tidak nyaman tinggal di rumah tersebut. Ditambah lagi dengan kondisi ibunya yang semakin melemah dan situasi perang yang berkecamuk, semakin membuat Ofelia merasa tertekan Pada suatu malam Ofelia didatangi oleh Peri yang menuntunnya ke sebuah taman labirin yang terletak di sekitar rumah peristirahatan tersebut. Di dalam labirin, Ofelia bertemu dewa tua bernama Faun yang mengatakan bahwa Ofelia adalah titisan dari Putri Moanna dari Dunia Bawah. Ofelia bisa pulang ke Dunia Bawah jika berhasil menyelesaikan tiga tugas khusus. Selama menjalankan tugas khusus tadi, Ofelia melanggar beberapa ketentuan dari ibunya. Misalnya pada saat tugas pertama Ofelia melawan seekor kodok raksasa yang tinggal di bawah sebuah pohon tua. Tugas ajaib ini membuat gaun –yang akan digunakan untuk makan malam bersama relasi Kapten Vidal— buatan ibunya kotor berlumuran lumpur. Pada saat Ofelia memberitahu Faun tentang kondisi ibunya, Faun memberikan akar Mandrake yang harus direndam dalam susu segar, diberi darah setiap hari dan diletakkan di bawah ranjang ibunya. Pada saat Kapten Vidal dan ibunya menemukan akar Mandrake di bawah ranjang, akar tersebut dibakar di perapian di depan Ofelia. Pada saat yang sama Carmen merasa akan melahirkan dan mengalami pendarahan hebat. Hal ini membuat Ofelia semakin yakin mengenai hal-hal gaib yang ditemuinya. Sayangnya Ofelia gagal menjalankan tugas khusu keduanya sehingga Faun marah dan mengatakan tidak akan menemui Ofelia lagi. Kondisi psikis Ofelia semakin diperparah saat ibunya meninggal setelah melahirkan anak laki-laki Kapten Vidal. Pada suatu malam Kapten Vidal dan prajuritnya memergoki Ofelia dan Marcedes (kepala pelayan di rumah tersebut yang juga peduli pada kondisi Ofelia) pergi membantu gerilyawan di hutan. Ofelia kemudian ditampar dan dikurung dalam kamarnya serta tidak diberi makan. Pada saat sendirian di kamarnya, Ofelia didatangi oleh Faun yang memaafkannya dan memberinya satu tugas akhir, yaitu membawa adik bayinya ke dalam labirin. Pada saat yang sama pasukan gerilya menyerbu rumah peristirahatan. Kapten Vidal lebih memilih untuk mengejar Ofelia yang membawa adiknya ke dalam labirin. Di tengah labirin, Faun meminta Ofelia menusukkan pisau ke tubuh adiknya sebagai persembahan agar pintu Dunia Bawah terbuka, tetapi Ofelia menolaknya. Pada saat yang sama Kapten Vidal menemukan Ofelia dan menembaknya dari belakang. Ofelia pun jatuh tersungkur dan akhirnya meninggal. Pada saat-saat napas terakhirnya, Ofelia terbangun dan telah berada di Kerajaan Dunia Bawah disambut oleh ibu dan ayah kandungnya. Tetapi pada perspektif yang berbeda diperlihatkan Ofelia yang berlumuran darah dan sekarat dipeluk oleh Marcedes di tengah labirin. Analisa yang kami berikan adalah Ofelia memiliki gejala-gejala positif skizofrenia seperti delusi dan halusinasi. Akibat tekanan yang keras dari ayahnya, ia mencoba mengalihkan realita kebahagiaan pada dunia peri. Karena itulah, ofelia tergolong mengalami gangguan skizofrenia tipe paranoid, dimana ia lepas dari realita dan mengalami delusi serta halusinasi. Ofelia juga mengalami waham grander, dimana ia meyakini bahwa dirinya adalah putri dunia bawah. Menurut DSM-IV-TR (2008), teman khayalan (peri, dsb) adalah bentuk dari disorganized thinking (gangguan berpikir). Pada tahapan ringan, gangguan berpikir membuat individu tidak mampu membedakan kondisi nyata dan fantasi. Untuk kasus yang berat, individu bahkan dapat mengalami ketidakmampuan mengolah kata-kata untuk menjadi sebuah kalimat. Fitur tersebut menjadi pembeda antara gangguan berpikir dengan delusi. Penyebab munculnya teman khayalan bisa sangat bervariasi dan kasuistik, karena terkait dengan disorganized thinking. Bisa jadi karena individu memang memiliki faktor risiko yang cukup besar atau karena teman khayalan menjadi bentuk pelarian individu dari realita. KESIMPULAN Skizofrenia adalah gangguan jiwa serius yang bersifat psikosis sehingga penderita kehilangan kontak dengan kenyataan dan mempengaruhi berbagai fungsi individu, seperti afeksi dan kognitif. Penderita Skizofrenia juga dapat digolongkan dalam beberapa jenis berdasarkan gejala khas yang paling dominan. Tiap jenis selalu ditandai dengan gejala positif dan negatif yang berbeda porsinya. Gejala positif adalah penambahan dari fungsi normal, contohnya halusinasi yaitu persepsi panca indera yang tidak sesuai kenyataan. Sedangkan gejala negatif berarti pengurangan dari fungsi normal seperti kehilangan minat dan menarik diri dari lingkungan sosial. Hingga saat ini penyebab utama Skizofrenia masih menjadi perdebatan di kalangan ahli psikiatri maupun psikologi. Karna itu untuk dapat memahaminya diperlukan multiperspekif yaitu dari sisi biologis, psikologis, sosial dan spiritual. DAFTAR REFERENSI Jurnal Clarke, C, Antti Tansken, Matti Huttunen, John C. Whittaker, and Mary Cannon. 2009. Evidence for an Interaction Between Familial Liability and Prenatal Exposure to Infection in the Causation of Schizophrenia. Journal of Psychiatry. Hoaki, dkk. 2009. Negative Symptoms in Schizophrenia Respond to Milnacipran Augmentation Therapy: A Case Report. Jurnal of Psychiatry. 12: 32-34. Lenzenweger, Mark et al. 2007. Resolving The Latent Structure of Schizophrenia Endophenotypes Using Expectation-Maximization-Based Finite Mixture Modelling. Journal of Abnormal Psychology, vol. 116, 16-29. American Psychological Association. Mesholam-Gately, Raquelle et al. 2009. Neurocognition in First-Episode Schizophrenia: A Meta Analytic Review. Journal of Neuropsychology, vol. 23, 315-336. American Psychological Association. Urbayatun, Siti. 2006. Psikoterapi Doa sebagai Alternatif Mengatasi Gangguan Jiwa Ringan. Jurnal Psikologi Islami, vol. 2, 31-37. Buku Adz Zakiey, Hamdani Bakran. 2007. Psikologi Kenabian. Yogyakarta: Beranda. Al Quran dan Terjemahan. 2007. Bandung: Penerbit Diponegoro. American Psychiatric Association. 2008. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder 4th Edition Text Revision. Washington DC: Arlington VA. Alwisol. 2007. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press. Arif, Iman Setiadi. 2006. Skizofrenia: Memahami Dinamika Keluarga Pasien. Bandung: PT. Refika Aditama. Durand, V. Mark dan David H. Barlow. 2007. Intisari Psikologi Abnormal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar