Jumat, 11 Mei 2012

askep trakeostomi

TINJAUAN TEORITIS 2.1 Konsep Dasar Teori Trakheostomi 2.1.1 Pengertian Trakheotomi adalah suatu prosedur pengirisan trakea. (irman sumantri, 2008) Tracheotomy berarti untuk membagi(memotong), trakea (betangtenggorok). Lubang dibuat disebut trakeastomi. Trakeostomi diturunkan dari bahasa yunani dengan mengambil kata trachea arteria (menembus arteri) dan tome (memeotong). Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada dinding depan/anterior trakhea untuk benafas dengan membuka dinding depan/ anterior trakeauntuk mempertahankan jalan nafas agar udara dapat masuk ke paru-paru danmemintas jalan nafas bagian atas (Adams,1997). Trakeastomi adalah operasi pembuatan suatu lubang di trakea (irmansumantri, 2008) 2.1.2 Etiologi Masalah pada jalan napas adalah sumbatan. Sumbatan dapat terjadibaik total maupun parsial. Sumbatan total terjadi karena benda asing yangmenutup jalan napas secara tiba-tiba. Sedangkan sumbatan parsial dibedakanmenjadi tiga bagian yaitu: a.Sumbatan Karena Cairan Setiap pasien trauma beresiko mengalami sumbatan jalan nafaskarena cairan yang disebabkan oleh darah, secret dan lain-lain. Sumbatankarena cairan dapat mengakibatkan aspirasi yaitu masuknya cairan asingkedalam paru-paru penderita. Upaya penanganan sumbatan jalan nafaskarena cairan adalah dengan melakukan penghisapan atau suctioningsesegera mungkin. b. Sumbatan Karena Pangkal Lidah Pada penderita yang mengalami penurunan kesadaran, makamungkin pangkal lidah akan jatuh kebelakang dan menyumbat hipofaring.Hal ini karena ototo-otot penyanggah lidah lemas atau mengalamikelumpuhan. Cara mengatasi sumbatan jalan nafas karena sumbatanpangkal lidah pada prinsinya adalah mengangkat pangkal lidah agar tidak menyumbat jalan nafas. c. Sumbatan Anatomis Sumbatan anatomis disebabkan oleh penyakit saluran nafas ataukarena adanya trauma yang mengakibatkan pembekakan/ udema padajalan nafas (ex. Trauma inhalasi pada kebakaran). Penanganan sumbatankarena antomis seringkali membutuhkan penanganan secara surgicaldengan membuat jalan nafas alternatif tanpa melalui mulut atau hidung penderita. 2.1.3 Indikasi Indikasi dari trakeostomi antara lain: 1. 2.1.5 Fungsi Trakheostomi Fungsi dari trakheostomi antaralain: 1. Mengurangi jumlah ruang hampa dalam traktus trakheobronkial 70sampai 100 ml. Penurunan ruang hampa dapat berubah ubah dari 10sampai 50% tergantung pada ruang hampa fisiologik tiap individu. 2. Mengurangi tahanan aliran udara pernafasan yang selanjutnya mengurangi kekuatan yang diperlukan untuk memindahkan udarasehingga mengakibatkan peningkatan regangan total dan ventilasialveolus yang lebih efektif. Asal lubang trakheostomi cukup besar (paling sedikit pipa 7) 3. Proteksi terhadap aspirasi 4. Memungkinkan pasien menelan tanpa reflek apnea, yang sangat penting pada pasien dengan gangguan pernafasan 5. Memungkinkan jalan masuk langsung ke trachea untuk pembersihan 6. Memungkinkan pemberian obat-obatan dan humidifikasi ke traktus. 7. Mengurangi kekuatan batuk sehingga mencegah pemindahan secret keperifer oleh tekanan negative intra toraks yang tinggi pada faseinspirasi batuk yang normal 2.1.6. Jenis Tindakan Trakheostomi a. Surgical trakeostomy Tipe ini dapat sementara dan permanen dan dilakukan di dalam ruang operasi. Insisi dibuat diantara cincin trakea kedua dan ketiga sepanjang 4-5 cm. b. Percutaneous Tracheostomy Tipe ini hanya bersifat sementara dan dilakukan pada unit gawatdarurat. Dilakukan pembuatan lubang diantara cincing trakea satu dandua atau dua dan tiga. Karena lubang yang dibuat lebih kecil, makapenyembuhan lukanya akan lebih cepat dan tidak meninggalkan scar.Selain itu, kejadian timbulnya infeksi juga jauh lebih kecil. c. Mini Tracheostomi Dilakukan insisi pada pertengahan membran krikotiroid dan trakeostomi mini ini dimasukan menggunakan kawat dan dilator. 2.1.7 Penatalaksanaan 1.Alat Yang Diperlukan: 1.Pisau 2. Pinset anatomi 3. Gunting panjang tumpul 4. Sepasang pengait tumpul 5. Klem arteri 6. Gunting kecil yang tajam 7. Kanul trakea dengan ukuran sesuai 8. Spuit untuk anastesi obat anestesi 9. Kain kassa 10. Tali pengikat kanul trachea 11. Antiseptic serta kain steril 2. Tehnik Trakheostomi a. Pasien ditidurkan terlentang, bahu diganjal dengan bantalan kecil sehingga memudahkan kepala untuk diekstensikan. b. Kulit leher dibersihkan sesuai dengan prinsip aseptik dan antiseptik dan ditutup dengan kain steril. c. Disuntikkan obat anestetikum disuntikkan di pertengahan krikoid dengan fossa suprasternal secara infiltrasi. d. Sayatan kulit dapat vertikal di garis tengah leher mulai dari bawah krikoid sampai fosa suprasternal atau jika membuat sayatan horizontal dilakukan pada pertengahan jarak antara kartilago krikoid dengan fosa suprasternal atau kira-kira dua jari dari bawah krikoid orang dewasa. Sayatan jangan terlalu sempit, dibuat kira-kira lima sentimeter. e. Jaringan subkutis dibuka dengan gunting panjang yang dibuka (denganbagian belakang gunting) lapis demi lapis sehingga fasia pretrakea juga terpotong. Pada tiap lapis, perawat mengikuti dengan menahan jaringan retractor. f. Setelah pretrakea terpotong akan tampak trakea. Tanda trakea ialah adanya cincin tulang rawan yang berwarna keputihan. g. Untuk membuktikan fasia trakea ialah dengan spuit yang berisi sedikit cairan. Bila ditusuk trakea akan timbul gelembung. h. Dengan pisau tajam, tulang rawan trakea ke tiga diinsisi, kemudian tulang rawan dipegang dengan klem arteri dan dibuat lubang bulat dengan bantuan gunting pendek yang tajam. Lubang dibuat sesuai dengan kanul yang digunakan. i. Pendarahan dirawat j. Dimasukkan kanul trakea kedalam lubang yang dibuat, kemudian diikat disekitar leher k. Dibawah kanul diletakkan kain kassa untuk menampung secret yangdibatukkan dari secret. 2.1.9 Komplikasi •Komplikasi dini yang sering terjadi: 1. Perdarahan Perdarahan mungkin terjadi sewaktu operasi, tetapi lebih sering terjadi bebrapa hari sesudah tindakan trakheostomi . oleh karena itu ketika melalkukan trakheostomi sebaiknya perdarahan di cari dan pembuluh darah diikat terutama di sekitar kelenjar tiroid. 2. Pneumothoraks Komplikasi ini banyak terjadi pada anak-anak , sebab pada peura anak-anak terlalu tinggi di leher sehingga mudah terjadi kerusakan. Penderita yang telah di trakheostomi sebiknya di buat foto rontgen thorak dan bila sampai adanya pneumothoraks segera pasang water sealed drainage (WSD). 3. Bronkopneumonia Bronkopneumonia merupakan komplikasi yang sering terjadi terutama pada anak-anak. Hal ini di sebabkan penghisapan lendir penderita melalui stoma trakhea kurang memenuhi syaraf sepsis. 4. Stenosis trakhea Stenosis trakhea mungkin disebabkan karena terbentuknya jaringan granulasi atau koloid di sekitar stoma. Stenosis trakhea oleh jaringan granulasi sering terjadi bila trakheostomi di lakukan pada cicin trakhea II. Kolooid akakn terbentuk di sekitar stoma. Apabila luka insisi mengalami peradangan, sehinga luka tidak sembuh per-primum. 5. Kematian mendadak Apnea, hipertensi, dan aritmia jantung merupkan komplikasi yang menyebabkan kematian pada saat dilakukan trakheostomi. Pada penderita dengan penyumbatan saluran pernapasan kronis, konsentrasi karbondioksida yang tinggi dalam darah mengurangi kepekaan pusat pernapasan terhadap rangsang karbondioksida. Pernapasan tergantung keberadaan oksigen. Keadaan kurangnya oksigen dihilangkan dengan trakheostomi, sehingga rangsang napas berkurang. Apabila pada obstruksi yang kronis itu, tiba-tiba diberikan oksigen dengan dosis yang terlalu tinggi, maka penderita akan menjadi apnea 6. Emfisema Dapat terjadi di subkutis atau mediastinum. Emfisema subkutis terjadi karena luka insisi di kulit dijahit terlalu rapat pada kanula, sedangkan stoma terlalu lebar. Emfisema dapat juga terjadi kalau kanula trakhea yang dipakai terlalu kecil dibandingkan dengan stoma trakhea yang dibuat •Komplikasi lanjut : 1. Infeksi 2. fistula trakeoesofagus Bila trakea dipotong tepat pada waktu penderita batuk, maka mungkin sekali dinding anterior esofagus teriris. Oleh karena itu, sebaiknya insisi trakea dilakukan pada waktu penderita melakukan inspirasi agar dinding anterior dan posterior trakea (yang merupakan dinding anterior esofagus) tidak berdekatan maka cincin trakhea III dikaitkan dengan penakulum. 4. Stenosis trakea 2.2. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Pada Klien Trakheostomi 2.2.1. Pengkajian 1. Identitas Klien Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama,tanggal dan jam masuk RS, nomor registrasi dan diagnosis medis. 2. Keluhan Umum Sering menjadi alasan klien untuk minta pertolongan dengan keluhan tidak bisa bernapas. 3. Riwayat kesehatan sekarangSebagian besar penderita yang bermasalah pada gangguan jalan napas seringmenimbulkan gejala. Gejala yang dimaksud seperti sesak napas, tidak bisabernapas dan napas tersumbat. 4. Riwayat kesehatan dahulu apakah ada riwayat gangguan jalan napas/sumbatan sebelumnya, kondisi yang mempengaruhi pernapasan paru-paru dapat memicu terjadinya gangguan jalan napas seperti sumbatan pada jalan napas. 5. Riwayat kesehatan keluarga apakah ada riwayat kesehatan anggota keluarga yang menderita gagal napas. 6. Data Dasar Pengkajian Pasien: a. Aktivitas/istirahat • Gejala : Dispnea dengan istirahat ataupun aktivitas b. Sirkulasi • Tanda: Takikardia, frekuensi tak teratur, nadi apical berpindah oleha danya penyimpangan medaistinal. • Gejala: TD hiper/hipotensi c. Makanan/cairan • Gejala: anorexia (mungkin karena bau sputum • Tanda : pemasangan IV line. d. Nyeri/kenyamanan • Gejala : nyeri area luka trakeostomi, nyeri dada unilateralmeningkat karena batuk atau bernafas • Tanda : berhati-hati pada area yang sakit, perilaku distraksi,mengkerutkan wajah e. Pernafasan • Gejala : kesulitan bernafas, batuk (mungkin gejala yang ada),riwayat trauma dada. • Tanda : peningkatan frekuensi nafas, kulit cyanosis, penggunaanventilasi mekanik (trakeostomi), secret pada selangtrakeostomi f. Hygiene • Tanda : kemerahan area luka trakeostomi g. Interaksi social • Tanda : ketidakmampuan mempertahankan suara karena distresspernafasan, keterbatasan mobilitas fisik. h. Pemeriksaan Diagnostik 1. Pemeriksaan fungsi paru: menentukan kemampuan paru untuk pertukaran gas karbondioksida. 2. GDA: mengkaji status oksigenasi dan ventilasi dan keseimbanganasam basa. 3. Kapasitas vital kuat (FVC): menurun pada kondisi restriktif(diukur dengan spirometri). 4. Sinar X dada: mengawasi perbaikan/kemajuan kondisi ataukomplikasi 2.2.2 Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul A. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan pembentukan edema, sekret yang kental. B. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan agen secara fisik. C. Nyeri akut berhubungan dengan insisi bedah pemasangan trakheastomi. D. Perubahan nutisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan denganperubahan pembedahan / struktur, trakheastomi E. Kerusakan Integritas kulit / jaringan berhubungan dengan bedahpengangkatan (trakheastomi) F. Perubahan citra diri berhubungan dengan kehilangan suara perubahananatomi wajah G. Kurangnya pengetahuan berhubungan dengan kurangnya infomasi 2.2.3 Rencana Asuhan Keperawatan (Nursing Care Planning/ NCP) a. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan pembentukan edema, sekret yang kental. Tujuan:Setelah dilakukan intervensi keperawatan, diharapkan nafas klienkembali efektif. Kriteria hasil: •Mempertahankan kepatenan jalan nafas dengan bunyi nafasbersih •Mengeluarkan / membersihkan secret dan bebas aspirasi •Menunjukan prilaku untuk memperbaiki / mempertahankanjalan nafas bersih dalam tingkat kemampuan Intervensi rasional -Kaji intruksi praoprasi mengapakomunikasi dan pernapasanterganggu, gunakan model untuk membantu penjelasan -Tentukan apakah pasien apakahpasien mempunyai komunikasi lain. -Berikan cara cepat dan countinou untuk memanggil perawat danbiarkan pasien mengetahui,panggilan akan dijawab dengancepat. -Atur sebelumnya tanda-tanda untuk mendapatkan bantuan cepat. -Menguatkan pendidikan pada waktu takut terhadap pembedahan sudah berlalu. -Adanya masalah lain akan mempengaruhi rencana untuk pilihankomunikasi -Pasien memerlukan keyakinan bahwaperawat waspada dan akan beresponterhadappanggilan. -Dapat menurunkan ansietas pasiententang ketidaknyamanan untuk bicara. b. Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan agan secara fisik Tujuan:Setelah dilakukan intervensi keperawatan, klien dapat berkomunikasikembali Kriteria hasil: •Menyatakan kebutuhan dengan cara yang efektif •Mengidentifikasi atau merencanakan pilihan metode berbicarayang tepat setelah sembuh Intervensi rasionalisasi Mandiri: -Selidiki keluhan nyeri,perhatikan lokasi, intensitas(skala 0 – 10) dan faktor pemberat/penghilang. -Anjurkan pasien untuk melaporkan nyeri segera saat mulai. -Pantau tanda-tanda vital. -Berikan tindakan kenyamana pada saatpembebatan insisi selamaproses bedah. -Nyeri insisi bermakna padapasca operasi awal, diperberat oleh pergerakan, batuk, distensi abdomen, mual. -Intervensi diri pada kontrolnyeri memudahkan pemulihanotot/jaringan dengan menurunkantegangan otot dan memperbaikisirkulasi. -Respon autonemik meliputi perubahan pada TD, nadi dan pernapasan yang berhubungan dengan keluhan/penghilang nyeri. Abnormalitas tanda vital terus menerus memerlukan evaluasi lanjut. -Memberikan dukungan relaksasi, memfokuskan ulang perhatian, meningkatkan rasa kontrol dan kemampuan koping BAB III TINJAUN KASUS 3.1 Pengkajian 1. Identitas klien: Nama : Tn. AUmur : 30 Th Agama : Islam Pekerjaan : Wiraswasta Alamat : Hibrida 10 Tanggal masuk RS : 29 Mei 2010 Tanggal pengkajian : 30 Mei 2010 2. Riwayat kesehatan/ keperawatan: 1. Keluhan Utama/ alasan masuk RS : Tn A (30 th) masuk RS M.Yunus BKL via IGD pada tanggal 29 mei 2010jam 11.20 WIB dengan keluhan sesak nafas, batuk, stridor ekspansi dan kesulitan menelan. 2. Riwayat Kesehatan Sekarang- Faktor pencetus : - Klien mengatakan sesak nafas didahului oleh stridor ekspansi seminggu sebelum masuk RS -Sifat keluhan: Klien mengatakan sesak nafas timbul perlahan, sesak nafas terus menerus danbertambah saat beraktivitas. - Berat ringannya keluhan: Klien mengatakan sesak nafas cenderung bertambah sejak 2 hari sebelum masuk RS - Lamanya keluhan: Klien mengatakan 2 hari sebelum masuk RS saat merasakan keluhan - Upaya yang telah di lakukan : Klienmengatakan untuk mengatasi keluhan, klien istirahat - Keluhan saat pengkajian: Klienjuga mengatakan kesulitan bernafak , kesulitan menelan sulit untuk berkomunikasi. 3. Riwayat kesehatan dahulu (RKD) -Klien mengatakan tidak ada riwayat alergi terhadap makanan, debu, dll -Klien mengatakan sebelumnya tidak pernah menderita sesak nafas seperti ini. 4. Riwayat kesehatan keluarga (RKK) - Klien mengatakan tidak ada anggota keluarga yang mempunyai penyakit seperti yang dialaminya dan tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit keturunan 5. Pola fungsi kesehatan : 1. Pola persepsi dan pemeliharaan kesehatan •Persepsi terhadap penyakit :pasien tidak mengetahui penyakit yang dideritanya. •Alergi (makanan, debu, dll) : pasien tidak ada alergi. 2. Pola nutrisi dan metabolisme •Klien mengatakan ia merasakan mual sehingga tidak nafsu makan, dia hanyamampu menghabiskan ¼ porsi setiap kali makan (pagi, sing, malam). 3.Pola eliminasi •Buang air besar (BAB) - freuensi : 1x sehari waktu : pagi - warna : kuning -konsistensi : lembek -kesulitan (diare, konstipasi, inkontinensia) : tidak ada •Buang air kecil (BAK) - frekuensi : 2-5x sehari - kesulitan (kateter intermitten, indwelling, kateter eksternal) :tidak ada. 4.Pola aktifitas dan latihan •Alat Bantu : pispot •Kemampuan ROM : tidak ada keterbatasan rentang gerak 5. Pola istirahat dan tidur •Lama tidur : 7 jam/ malam •Waktu : 21.00 wib •Masalah tidur (insomnia, terbangun dini, mimpi buruka) :insomnia 6. Pola kognitif dan persepsi •Status mental (sadar/ tidak sadar, orientasi baik/ tidak) :sadar •Bicara : normal ( ), tidak jelas ( ), gagap ( ), aphasia ekpresif (√) •Kemampuan berkomunikasi : ya ( ), tidak (√) •Kemampuan memahami : ya (√), tidak ( ) •Pendengaran : DBN (√), tuli ( ), kanan/ kiri ( ), tinnitus ( ),alat Bantu dengar ( ) •Penglihatan : DBN •Fertigo : tidak ada •Penatalaksanaan nyeri : pasien beristirahat untuk mengurangi nyeri 7.Persepsi diri dan konsep diri •Perasaan klien tentang masalah kesehatan ini : pasienmerasa penyakitnya sulit untuk disembuhkan 6. Pemeriksaan fisik : •Keadaan umum : Klien tampak kesulitan bernafas, menelan klientampak lemah. •TTV : TD : 120/80 mmHg ND : 110x/i RR : 32x/i S : 37,5 ◦c •Sistem integument (kulit) : elastis •Kuku : kuku pucat dan sedikit sianosis •Hidung : pernapasan cuping hidung •Mulut : mukosa bibir kering dan pucat •Thorak/ paru -Inspeksi : Penggunaan otot Bantupernapasan (+) -Palpasi : Fremitus menurunpada kedua paru -Perkusi : Tidak ada resonanpada kedua lapang paru -Auskultasi : Bunyi napas stridor (+) •Vaskular perifer Capillary refille : pengisian kapiler lambatClubbing : Clubbing ada 7. Pemeriksaan penunjang •Pemeriksaan fungsi paru : menentukan kemampuan paru untuk pertukaran gas karbon dioksida GDA : mengkaji status oksigenasi dan ventilasi dan keseimbangan asam basah •Kapasitas vital kuat (FVC) : menurun pada kondisi restriktif (diukur dengan spirometri) •Sinar x dada : mengawasi perbaikan / kemajuan kondisi ataukomplikasi 1. Rontgen dada untuk menilai posisi tube dan melihat timbul atautidaknya komplikasi. 2. Antibiotic untuk menurunkan resiko timbulnya infeksi. 3. Mengajari pihak keluarga dan penderita sendiri cara merawat pipatrakeastomi. 3.2 Analisa Data Nama klien : Tuan A Ruang rawat : Ruang IGD RSUD M. Yunus bengkulu Diagnosa medis : Trakheostomi NO DATA ETIOLOGI MASALAH 1 DS: -klien mengatakan sesak napas dan batuk -klien mengatakan nyeripada daerah tenggorokan -klien mengatakan susah mengeluarkan secret -Klien mengatakan badannya terasa lema. DO: -klien tampak lemah, klientampak kesulitan -bernapas danklien tampak gelisah TTV: TD :130/90 mmHg ND : 120x/i S : 37,5 -Sianosis -Dispnea -Ronchi -Pernapasan cupinghidung -pernapasan dangkal -adanya pembesaran jaringan , edema laring. -Penurunan kontinu oksigenasi (PaO2), peningkatan karbon dioksida arteri (PaCO2), dan asidosis persisten (penurunan Ph) Pembentukan edema (manipulasi dari operasi dan akumulasi system limpatik) Bersihan jalan napas tidak efektif 2 DS: -Klien mengatakan badannya terasa lemah -Klien mengatakan lidahnya pahit -Klien mengatakan ingin minum terus -Klien mengatakan kesulitan menelan -Klien mengatakan hanya mampu menghabiskan ¼ porsi makannya DO: Mukosa bibir kering Berat badan pasien turun 3 kg dari 60 kgmenjadi 57 kg Pasien tampak lemah Pembengkakan padalaring Insisi bekas pembedahan, pembengkakan jaringan Nyeri akut 3 DS: klien mengatakan rasa nyeri pada tenggorok klien mengatakan adanya kesulitan menelan klien mengatakan kesulitan berbicara DO: adanya edema pada laring adanya pembesaran jaringan pada daerah laring adanya kesulitan berbicara yang sulit dipahami Agen secara spesifik (tracheostomy tube) Kerusakan komunikasi verbal Diagnosa Keperawatan Yang Muncul 1.Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan perubahan sementara atau permanen pernafasan leher (pemasangan trakheastomi) 2.Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan hambatan fisik 3.Nyeri akut berhubungan dengan insisi bedah pemasangan trakheastomi Catatan perkembangan NO DIAGNOSA KEPERAWATAN IMPLEMENTASI EVALUASI 1 Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan pemasangan kanul trakeostomi Jam: 09.00 Mandiri Menghisap selang trakeastomi, dan mencatat jumlah dan warna sekret -mengajarkan pasien prosedur penghisapan sendiri sesegera mungkin -memastikan posisi/ ikatan sesuai indikasi -mengganti selang/ kanul sesuai indikasi Kolaborasi -memberikan humidifikasi tambahan, ex:tekanan o2 penahan leher berupa humidifier ruang, peningkatan masukan cairan. Jam 14.00 S: -klien mengatakan tidak ada dahak lagi di tenggorokan -klien mengatakan nafas tidak sesak lagi O: -klien tampak tidak mengeluarkans putum lagi -klien tampak rileks/ tidak sesak lagi A: -Masalah teratasi P: -Intervensi dihentikan 2 Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan hambatan fisik Jam 09.00 -mengajak pasien berdiskusi dan menjelaskan pra operasi, mengapa bicara dan nafas terganggu memeriksa apakah klien mempunyai masalah komunikasi yang lain -memberikan pilihan cara komunikasi yang tepat bagi kebutuhan pasien memberikan cara komunikasi non verbal Kolaborasi: -mengkonsultasikan dengan anggota tim kesehatan yang tepat Jam 14.00 S: -klien mengatakan tidak kesulitan lagi berkomunikasi O: -klien tampak sudah dapat berkomunikasi A : -masalah teratasi P: -intervensi dihentikan 3 Nyeri akut berhubungan dengan insisi bedah Jam 09.00 -menyokong kepala dan leher pasien dengan bantal dan menunjukan pasien bagaimana menyokong leher selama aktifitas -memberikan tindakan nyaman (contoh: pijatan punggung perubahan posisi) -dan aktivitas hiburan (contoh melihat televisi, duduk, membaca) -mendorong pasien untuk mengeluarkan saliva atau mulut dengan hati-hati bila tak mampu menelan. -menyelidiki perubahan karakteristik nyeri. Periksa mulut, jahitan tenggorokan untuk trauma bau. Kolaborasi: -memberikan irigasioral,anestesi sperei dan kumur-kumur. – Anjurkan pasien melakukan irigasi sendiri. Jam : 14.00 S: -klien mengata masih kesulitan menelan -klien mengatakan kesulitan berbicara O: -klien tampak kesulitan menelan -klien tampak kesulitan berbicara A: -masalah belum teratasi P: -intervensi dilanjutkankan BAB IV PENUTUP Kesimpulan Tracheotomy berarti untuk membagi(memotong), trakea (betangtenggorok). Lubang dibuat disebut trakeastomi. Trakeostomi diturunkan dari bahasa yunani dengan mengambil kata trachea arteria (menembus arteri) dan tome(memeotong). Trakeostomi adalah tindakan membuat lubang pada dindingdepan/ anterior trakhea untuk benafas dengan membuka dinding depan/anterior trakea untuk mempertahankan jalan nafas agar udara dapatmasuk ke paru-paru dan memintas jalan nafas bagian atas(Adams,1997). Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul : 1.Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan denganpe masangan kanul trakeostomi. 2.Kerusakan komunikasi verbal berhubungan dengan hambatan fisik 3.Nyeri akut berhubungan dengan insisi bedah Saran Adapun saran yang penulis sampaikan adalah pelajari denganbaik tahap-tahap dalam tindakan trakeastomi demi meningkatkanketerampilan keperwatan anda. DAFTAR PUSTAKA http://kumpulanmaterikeperawatan.blogspot.com/2010/04/trakeostomi.htmlhttp://tikagemini.blogspot.com/2009/06/trakeostomihttp://klikharry.wordpress.com/2007/07/11/trakeostomi-tracheostomy/IKBI, System Penanggulangan Penderita Gawat Darurat Secara Terpadu Edisi 2, 1997

Askep Polisitemia

Askep Polisitemia .POLISITEMIA VERA 1.Definisi Polisitemia (selanjutnya disingkat: PV) adalah suatu kelainan mieloproliferatif yang progresif, kronik dan melibatkan unsur-unsur sumsum tulang. Di darah tepi terjadi peninggian nilai hematokrit dan volume sel darah merah total. Kelainan terjadi pada populasi sel asam (stem cell) klonal sehingga seringkali terjadi juga produksi leukosit dan trombosit yang berlebihan. Permasalahan yang ditimbulkan, berkaitan dengan massa eritrisit yang bertambah dan perjalanan penyakit ke arah fibrosis sumsum tulang. Fibrosis yang didapatkan bersifat poliklonal dan tidak neoplastik. Seperti diketahui, pada orang dewasa sehat semua eritrosit, granulosit, dan trombosit yang beredar di darah tepi diproduksi dalam sumsum tulang. Seorang dewasa berbobot 70 kg akan menghasilkan 1 x 1011 neutrofil dan 2 x 1011 eritrosit setiap harinya. Sebagai suatu penyakit neoplastik yang berkembang lambat, PV terjadi karena sebagian populasi sel darah merah berasal dari suatu klon sel asal yang abnormal; sel-sel tidak memerlukan eritropoietin untuk pematangannya; hal ini jelas membedakannya dari eritrositosis atau polissitemia sekunder dimana eritropoitein tersebut meningkat secara wajar (sebagai kompensasi atas kebutuhan yang meningkat, biasanya pada keadaan-keadaan dengan saturasi oksigen arterial rendah dan tidak wajar. PV biasanya mengenai penderita berumur 40-60 tahun, walaupun kadang-kadang (sebanyak 5%) ditemukan pada mereka yang berusia lebih muda; angka kejadian untuk PV ialah 7 per satu juta penduduk dalam ssetahun. Penyakit ini didapatkan dua kali lebih banyak pada wanita, dan dapat terjadi pada semua ras/bangsa 2.Tanda dan Gejala yang Predominan Rasa lelah, penurunan efisiensi tubuh, kesulitan konsentrasi (berpikir), sakit kepala, muda lupa, dan rasa pusing (dizziness) merupakan gejala-gejala awal yang dialami penderita PV. Gejala dan tanda yang mula-mula timbul ini biasanya disebabkan oleh hipervolemia dan sindrom hiperviskositas sekunder akibat peningkatan massa sel darah merah dan selanjutnya akan dapat timbul keluhan akibat splenomegali yang sekunder terhadap hemopoiesis ekstramedular. Splenomegali timbul pada sekitar 75% penderita polisitemia dan hepatomegali pada kira-kira sejumlah 40%. Gout terjadi pada 5-10%. Lima puluh peran penderita akan datang dengan gatal-gatal (pruritus) diseluruh tubuh, terutama setelah mandi air panas, suatu keadaan yang diakibatkan oelh meningkatnya kadar histamin dalam darah. Di halaman berikut ini adalah beberapa gejala dan akibat polisitemia vera yang dapat ditemukan pada penderita: 1. Hiperviskositas, gejala dan tandanya Hiperviskositas mengakibatkan menurunnya aliran darah dan terjadinya hipoksia jaringan serta manifestasi susunan saraf pusat berupa sakit kepala, dizziness, vertigo, stroke, tinitus dan gangguan penglihatan berupa pandangan kabur, skotoma dan diplopia. Manifestasi kardiovaskular: Angina petoris dan klaudikasia intermiten Manifestasi pendarahan (terjadi pada 10-30% kasus): Epistaksis, ekimosis dan pendarahan gastrointestinal Trombosit vena atau trombofiebitis dengan emboli (terjadi pada 30-50% pasien) 2. Gejala dan tanda pada kulit Pruritus terjadi pada 50% kasus dan urtikaria terjadi pada 10% kasus. Kemungkinan disebabkan karena perubahan metabolisme histamin Plethoa dan akrosianosis adalah manifestasi eritrositosis adalah manifestasi eritrositosis berat. 3.Diagnosis Sebagaimana suatu kelainan mieloproferatif, PV dapat emmberikan kesulitan dengan gambaran klinis yang hampir sama dengan berbagai keadaan lainnya (polistemia sekunder). Karena kompleksnya penyakit ini, International Polycythemia Study Group dibentuk untuk menentapkan pedoman dalam diagnosis polisitemia vera, dengan hasil sebuah klasifikasi seperti yang dapat dilihat dibawah ini. Kategori A: Meningkatnya massa sel darah merah. Hal ini diukur dengan krom-radioaktif Cr54. Pada pria ³ / 36 ml/kg, dan pada wanita ³/32 ml/kg. Saturasi oksigen arterial /92%. Eritrositosis yang terjadi sekunder terhadap penyakit/keadaan lainnya juga disertai masa sel darah merah yang meningkat. Salah satu pembeda yang digunakan adalah diperiksanya saturasi oksigen arterial, dimana pada PV tidak didapatkan penurunan. Kesulitan ditemui apabila penderita tersebut berada dalam keadaan 1) alkalosis respiratorik, dimana kurva disosiasi po2 akan bergeser ke kiri, dan 2) hemoglobinopati, dimana afinitas oksigen meningkat sehingga kurva po2 juga akan bergeser ke kiri Spenomegali Kategori B Tromosit : Trombosit 400.000/mm3 Leukositosis : leukosit /12.000/mm3 (tidak ada infeksi) LAF score meningkat lebih dari 100 (tanda adanya panas atau infeksi) Meningginya Vit B12 serum atau UBBC: serum Vit B12 > 900 pg/ml atau UBBC 2200 pg/ml Diagnosis polistemia dapat ditegakkan jika memenuhi kriteria : a. Kategori A1 + A2 + A3 b. Kategori A1 + A2 dan kriteria B Pemeriksaan Laboratorium 1. Eritrosit Untuk menegakkan diagnosis polisitemia vera, peninggian red call mass haruslah didemonstrasikan pada saat perjalanan penyakit ini. Pada sediaan apus eritrosit biasanya normokrom, normositik kecualit jika terdapat defisiensi besi. Poikilositosis dan anisositosis menunjukkan adanya transisi kearah metaplasma mieloid di akhir perjalanan penyakit. 2. Granulosit Granulosit jumlahnya meningkat, berkisar antara 12.000-25.000/mm3. Terjadi pada 2/3 penderita polistemia vera. Pada dua pertiga kasus ini juga terdapat basofilia. 3. Trombosit Jumlah trombosit biasanya berkisar antara 450.000-800.000/mm3 sering dengan morfologi yang abnormal. 4. B12 Serum B12 serumh meningkat konsentrasinya pada 35% pasien dan UBBC meningkat pada 75% pasien-pasien polisitemia vera. 5. Pemeriksaan Sumsum Tulang Sumsum tulang menunjukkan peningkatan selularitas normoblastik hiperplasiaeritroid, peningkatan ringan jumlah mengkariosit dan sedikit fibrosis. 5.Penatalaksanaan A. Prinsip Pengobatan Menurunkan volume darah sampai ke tingkat normal dan mengontrol eritropoesis dengan fiebotomi. Menghindari perbedaan elektif Menghindari pengobatan berlebihan (over treatment) Menghindari obat yang mutagenik, teratogenik dan berefek sterilisasi pada penderita usia muda Mengontrol panmielosis dengan dosis tertentu fosfor radioaktif atau kemiterapi pada penderita di atas 40 tahun bila didapatkan: - Trombositosis persisten di atas 800.000/mm3 Terutama jika disertai gejala-gejala trombositosis - Leukositosis progresif - Splenomegali yang sismtomatik atau menimbulkan sitopenia problematik - Gejala sistemik yang tidak terkontrol seperti pruritus yang sukar dikendalikan, penurunan berat badan atau hiperurikosuria yang sulit diatasi. B. Pengobatan Medis 1. Fiebotomi Fiebotomi dapat merupakan pengobatan yang adekuat bagi seorang penderita selama bertahun-tahun. Tujuan prosedur tersebut ialah mempertahankan hematokrit antara 42-47% untuk mencegah timbulnya hiperviskositas. Pada permulaan, 250-500 cc darah dapat dikeluarkan dengan blood donor collection set standar setiap 2 hari. Pada penderita dengan penyakit veskular aterosklerotik yang serius, fiebotomi hanya boleh sebanyak 250 cc untuk mencegah timbulnya bahaya iskemia serebral. Indikasi flebotomi terutama pada semua pasien pada permulaan penyakit dan penderita masih dalam usia subur. Sekitar 200 mg besi dikeluarkan pada tiap 500 cc darah (normal total body iron kira-kira 5g). Defisiensi besi merupakan tujuan pengobatan fiebotomi berulang. Gejala defisiensi seperti glositis, keilosis, disfagia, dan astenia cepat hilangd engan pemberian besi. 2. Fosfor Radiaktif (p32) Pengobatan ini efektif, mudah dan relatif murah untuk penderita yang tidak kooperatif atau dengan keadaan sosio-ekonomi yang tidak memungkinkan untuk berobat secara teratur. P32 pertama kali diberikan dengan dosis sekitar 2-3 mCi/m2 secara intravena. Dosis kedua diberikan sekitar 10-12 minggu setelah dosis pertama. Panmielosis dapat dikontrol dengan cara ini pada sekitar 80% penderita untuk jangka waktu sekitar 1-2 bulan dan mungkin berakhir 2 tahun atau lebih lama lagi. Sitopenia yang serius setelah pengobatan ini jarang terjadi. Pasien diperiksa sekita 2-3 bulan sekali setelah keadaan stabil. 3. Kemoterapi Obat alkilasi, terutama Chlorambucil Melphalan dan Busulfan. Busulfan: induksi 0.05-0.01 mg/kg/hari oral, selama 4-6 minggu. Hidroksiurea 15-25 mg/kg/hari oral, dalam dua dosis. Penderita dengan pengobatan cara ini harus diperiksa lebih sering (sekitar dua sampai tiga minggu sekali). Respons sangat pendek waktunya dans ering timbul mielosupresi yang serius dan juga resiko lebih ebsar untuk menjadi leukemia akut. 4. Pengobatan Suportif Hiperurisemia diobati dengan alopurinol 100-600 mg/hari oral pada penderita dengan penyakit yang aktif. Pruritus dapat dikontrol dengan Siproheptadin 4-16 mg/hari atau Kolestiramin 4 g 3 x sehari. ASUHAN KEPERAWATAN A.PENGKAJIAN 1.Identitas klien meliputi :nama,umur,alamat,nomorregister,pekerjaan,pendidikan,agama 2.Keadaan dan keluhan utama Apa yang menjadi keluhan utama yang dirasakan klien saat kita lakukan pengkajian yaitu pucat,cepat lelah,takikardi,palpitasi,dan takipnoe 3.Riwayat penyakit dahulu -adanya penyakit kronis seperti penyakit hati,ginjal -adanya perdarahan kronis/adanya episode berulangnya perdarahan kronis -adanya riwayat penyakit hematology,penyakit malabsorbsi. 4.Riwayat penyakit keluarga -Adanya riwayat penyakit kronis dalam keluarga yang berhubungan dengan status penyakit yang diderita klien saat ini -adanya anggota keluarga yang menderita sama dengan klien -adanya kecendrungan keluarga untuk terjadi anemia 5.Riwayat penyakit sekarang apa yang dirasakan klien saat ini yang berhubungan dengan status penyakit yang dideritanya(anemia) 6.Data sosial,psikologis dan agama -Keyakinan klien terhadap budaya dan agama yerteru yang mempengaruhi kebiasaan klien dan pilihan pengobatan misal penolakan transfusi darah -adanya depresi 7.Data kebiasaan sehari-hari Nutrisi -penurunan masukan diet -masukan diet rendah protein hawani -kurangnya intake zat makanan tertentu:vitamin b12,asam folat Aktivitas istirahat -frekuensi dan kualitas pemenuhan kebutuhan istirahat dan tidur Eliminasi BAK dan BAB -Frekuensi,warna,konsistensi dan bau 8.Pemeriksaan fisik Sistim Sirkulasi Gejala : -riwayat kehilangan darah kronis -riwayat endokarditis infektif kronis -palpitasi Tanda: Tekanan darah : Peningkatan sistolik dengan diastolic stabil dan tekanan nadi melebar, hipotensi postural. Disritmia:abnormalitas EKG missal:depresi segmen ST dan pendataran atau depresi gelombang T jika terjadi takikardia Denyut nadi : takikardi dan melebar Ekstremitas : Warna pucat pada kulit dan membran mukosa (konjongtiva,mulut, faring, bibir dan dasar kuku) Sklera : Biru atau putih seperti mutiara. Pengisian kapiler melambat (penurunan aliran darah ke perifer dan vasokonstriksi kompensasi). Kuku : Mudah patah. Rambut : Kering dan mudah putus. Sistim Neurosensori Gejala: -sakit kepala,berdenyut,pusing,vertigo,tinnitus,ketidakmampuan berkosentrasi -imsomnia,penurunan penglihatan dan adanya bayangan pada mata -kelemahan,keseimbangan buruk,kaki goyah,parestesia tangan /kaki -sensasi menjadi dingin Tanda: Peka rangsang, gelisah, depresi, apatis. Mental : tak mampu berespon. Oftalmik : Hemoragis retina. Gangguan koordinasi. Sistim Pernafasan Gejala: -napas pendek pada istirahat dan meningkat pada aktivitas Tanda : -Takipnea,ortopnea, dan dispnea. Sistim Nutrisi Gejala: -penurunana masukan diet,masukan protein hewani rendah -nyeri pada mulut atau lidah,kesulitan menelan(ulkus pada faring) -mual muntah,dyspepsia,anoreksia -adanya penurunan berat badan Tanda: Lidah tampak merah daging Membran mukosa kering dan pucat. Turgor kulit : buruk, kering, hilang elastisitas. Stomatitis dan glositis. Bibir : Selitis(inflamasi bibir dengan sudut mulut pecah) Sistim Aktivitas/ Istirahat Gejala: -keletihan,kelemahan,malaise umum -kehilamgan produktivitas,penurunan semangat untuk bekarja -toleransi terhadap latihan rendah -kebutuhan untuk istirahat dan tidur lebih banyak Tanda: Takikardia/takipnea,dispnea pada bekerja atau istirahat. Letargi, menarik diri, apatis, lesu dan kurang tertarik pada sekitarnya. Kelemahan otot dan penurunan kekuatan. Ataksia,tubuh tidak tegak Sistim Seksualitas Gejala: -hilang libido(pria dan wanita) -impoten Tanda: Serviks dan dinding vagina pucat. Sistim Keamanan dan Nyeri Gejala: -riwayat pekarjaan yang terpapar terhadap bahan kimia -riwayat kanker -tidak toleran terhadap panas dan dingin -transfusi darah sebelumnya -gangguan penglihatan -penyembuhan luka buruk -sakit kepala dan nyeri abdomen samar Tanda: Demam rendah, menggigil, dan berkeringat malam. Limfadenopati umum Petekie dan ekimosis. Nyeri abdomen samar dan sakit kepala. 9. Pemerikasaan Penunjang Diagnostik a. Jumlah darah lengkap: Hb dan Ht menurun. Jumlah eritrosit menurun. Pewarnaan SDM : Menditeksi perubahan warna dan bentuk ( mengidentifikasi tipe anemia). LED : Peningkatan menunjukkan adanya reaksi inflamasi. b. Pemeriksaan Hb elektroforesis : Mengidientifikasi tipe struktur Hb. c. Bilirubin serum. d. Folat serum dan vitamin B12. e. TIBC Serum, feritin serum, LDH serum f. Pemeriksaan endoskopik dan radiografik dll. B. Diagnosa Keperawatan Yang Muncul berdasarkan prioritas 1. Perubahan perfusi jaringan sehubungan dengan penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk pengiriman oksigen dan nutrisi ke sel tubuh. 2. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan sehubungan dengan intake yang menurun yang diperlukan untuk pembuatan sel darah merah normal. 3. Intoleransi aktivitas sehubungan dengan ketidakseimbangan antara supplai oksigen dan kebutuhan. 4. Resiko tinggi terhadap infeksi sehubungan dengan pertahanan sekunder tidak ade kuat . C. Planning 1. Kriteria hasil : Menunjukkan perfusi ade kuat : tanda vital stabil, membrane merah muda, pengisian kapiler baik. 2. Kriteria hasil : Menunjukkan peningkatan berat badan atau berat badan stabil dengan nilai laboratorium normal. Tidak mengalami tanda malnutrisi. Menunjukkan perilaku atau perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan mempertahankan berat badan yang sesuai. 3. Kriteria hasil : Peningkatan toleransi aktivitas (termasuk aktivitas sehari – hari) Menunjukkan penurunan tanda fisiologis intoleransi misalnya : nadi, pernafasan dan pertahanan darah dalam rentang normal. 4. Kriteria hasil : Mengidentifikasi perilaku untuk mencegah atau menurunkan resiko infeksi Data Laboratorium terhadap komponen pertahanan sekunder dalam rentang normal. D. Implementasi 1. Untuk diagnosa 1 mandiri : Awasi tanda vital, kaji pengisian kapiler dan warna kulit atau membrane mukosa. R : Memberikan informasi tentang derajat/ keadikuatan perfusi jaringan dan membantu menentukan kebutuhan interfensi. Tinggikan kepala tempat tidur sesuai toleransi R : Meningkatkan ekspansi paru dan memaksimalkan oksigennasi untuk kebutuhan seluler kecuali bila ada hipotensi Kaji pernafasan, auskultasi bunyi napas R : Dispnea, gemericik menunjukkan adanya peningkatan kompensasi jantung untuk pengisian kapiler Catat keluhan rasa dingin, pertahankan suhu lingkungan dan tubuh hangat sesuai indikasi. R : Vasokonstriksi ke organ vital menurunkan sirkulasi perifer. Kenyamanan pasien akan kebutuhan rasa hangat harus seimbang untuk mengindari panas berlebihan pencetus vasodilatasi (penurunan perfusi organ). Kolaborasi : Awasi pemeriksaan Laboratorium : Hb,Ht, Jumlah SDM, GDA R : Mengidentifikasi defisiensi dan kebutuhan pengobatan ataupun respon terhadap terapi. Berikan transfuse darah (SDM darah lengkap/ packed, produk darah sesuai dengan indikasi). Awasi ketat untuk komplikasi tranfusi. R : Meningkatkan jumlah sel pembawa oksigen, memperbaike defisiensi untuk menurunkan resiko perdarahan Untuk Diagnosa 2 Mandiri : Kaji riwayat nutrisi R : Mengidentifikasi defisiensi, menduga kemungkinan interfensi Observasi intake nutrisi pasien, timbang berat badan setiap hari R : Mengawasi masukan kalori atau kualitas kekurangan nutrisi, mengawasi penurunan BB atau efektivitas intervensi nutrisi. Berikan intake nutrisi sedikit tapi sering R : Intake yang sedikit tapi sering menurunkan kelemahan dan meningkatkan pemasukan serta mencegah distensi gaster. Observasi adanya mual muntah dan gejala lain yang berhubungan R : Gejala gastrointestinal dapat menunjukkan efek anemia (hipoksia pada organ). Jaga hygiene mulut yang baik R : Meningkatkan nafsu makan dan intake oral, menurunkan pertumbuhan bakteri, meminimalkan infeksi. Berikan diet halus, rendah serat, menghindari makanan panas, pedas atau terlalu asam sesuai indiksi bila perlu berikan suplemen nutrisi. R : Bila ada lesi oral, nyeri dapat membatasi intake makanan yang dapat ditoleransi pasien, meningkatkan masukan protein dan kalori. Kolaborasi : Kolaborasi dengan ahli gizi R : Membantu dalam membuat rencana diet untuk memenuhi kebutuhan individual Pantau pemeriksaan Lab : Hb, Ht, BUN, Albumin, Protein, Transferin, Besiserum, B12, Asam folat. R : Meningkatkan efektivitas program pengobatan termasuk sumber diet nutrisi yang diperlukan. Berikan pengobatan sesuai dengan indikasi misalnya : - Vitamin dan suplemen mineral : Vitamin B12, Asam folat dan Asam askorbat (vitamin C). R : Kebutuhan ... ...penggantian tergantung tipe pada anemia dan atau masukan oral yang buruk dan difesiensi yang diidentifikasi. - Besi dextran (IM/IV) R : Diberikan sampai deficit diperkirakan teratasi dan disimpan untuk yang tidak dapat diabsorpsi, atau bila kehilangan darah terlalu cepat untuk penggantian pengobatan oral menjadi efektif. - Tambahan Besi oral R : Untuk pasien anemia difisiensi besi - Asam Hidroklorida (HCL) R : Mempunyai sifat absorpsi vitamin B12 selama minggu pertama terapi Untuk Diagnosa 3 mandiri Kaji kemampuan pasien untuk aktivitas, catat adanya kelemahan. R : Mempengaruhi pilihan intervensi atau bantuan. Awasi dan kaji TTV selama dan sesudah aktivitas, catat respon terhapad tingkat aktivitas seperti denyut jantung, pusing, dispnea, takipnea dsb. R : Manifestasi kardiopolmunal dari upaya jantung dan paru untuk membawa jumlah oksigen ade kuat ke jaringan. Berikan bantuan dalam aktivitas dan libatkan keluarga R : Meningkatkan harga diri pasien Rencanakan kemajuan aktivitas dengan pasien, tingkatkan aktivitas sesuai toleransi dengan tehnik penghematan energi serta menghentikan aktivitas jika palpitasi, nyeri dada, napas pendek, atau terjadi pusing. R : Meningkatkan secara bertahap tingkat aktivitas sampai normal dan memperbaiki tonus otot, dengan membatasi adanya kelemahan, serta menghindari terjadinya regangan/ stress kardiopolmonal yang dapat menimbulkan dekompensasi/ kegagalan. Untuk diagnosa 4 Mandiri : Pertahankan tehnik aseptic selama prosedur R : Menurunkan resiko infasi bakteri. Berikan perubahan posisi/ ambulasi yang sering, latihan batuk dan napas dalam. R : Meningkatkan ventilasi segmen paru dan membantu memobilisasi sekresi untuk mencegah pnemonia Berikan perawatan kulit, perianal dan oral dengan cermat R : Menurunkan resiko infeksi jaringan. Berikan isolasi bila mungkin, batasi pengunjung R : Membatasi terjadinya infeksi karena respon imun terganggu Kolaborasi : Kolaborasi pemberian antiseptic, antibiotic sistemik. R : Mungkin digunakan secara propilaktik untuk menurunkan kolonisasi atau pengobatan proses infeksi local.

Multiple sclerosis

2.1. Definisi Multiple sclerosis (MS) merupakan keadaan kronis, penyakit degeneratif dikarakteristikkan oleh adanya bercak kecil demielinasi pada otak dan medulla spinalis Demielinasi menunjukkan kerusakan myelin yaklni adanya material lunak dan protein disekitar serabut-serabut saraf otak. Myelin adl. Substansi putih yang menutupi serabut saraf yang berperan dalam konduksi saraf normal (konduksi salutatory). MS merupakan salah satu gangguan neurologik yang menyerang usia muda sekitar 18-40 tahun. Insidens terbanyak terjadi pada wanita. Istilah sklerosis multipel berasal dari banyaknya daerah jaringan parut (sklerosis) yang mewakili berbagai bercak demielinasi dalam sistem saraf. Pertanda neurologis yang mungkin dan gejala dari sklerosis multipel sangat beragam sehingga penyakit ini tidakterdiagnosis ketika gejala pertamanya muncul. - Multipel Sklerosis (MS) adalah penyakit degenerati sistem saraf pusat (SSP) kronis yang meliputi kerusakan mielin (material lemak & protein dari selaput saraf) - MS secara umum dianggap sebagai penyakit autoimun, dimana sistem imun tubuh sendiri, yang normalnya bertanggung jawab untuk mempertahankan tubuh terhadap penyakit virus dan bakteri, dengan alasan yang tidak diketahui mulai menyerang jaringan tubuh normal. Pada kasus ini menyerang sel yang membentuk mielin. - Ms merupakan penyakit kronis dimana terjadi demielinisasi ireguler pada susunan saraf pusat / perier yang mengakibatkan berbagai derajat penurunan motorik, sensorik dan juga kognitif. - MS merupakan penyakit kronis dari sistem saraf pusat degeratif dikarakteristikan oleh adanya bercak kecil demielinasi pada otak dan medula spinalis. 2.2. Etiologi Penyebab MS belum diketahui secara pasti namun ada dugaan berkaitan dengan virus dan mekanisme autoimun (Clark, 1991). Ada juga yang mengaitkan dengan factor genetic. Ada beberapa factor pencetus, antara lain : - Kehamilan - Infeksi yang disertai demam - Stress emosional - Cedera Beberapa penelitian menyebutkan bahwa penyebab Multiple Sclerosis yang paling nyata adalah factor genetok (mirip kenker), tapi perkembangan dunia kedokteran terbaru membantah kesimpulan ini. Penelitian terbaru membuktikan bahwa Multiple Sclerosis Faktor keturunan tampaknya berperan dalam terjadinya sklerosis multipel. Sekitar 5% penderita memiliki saudara laki-laki atau saudara perempuan yang juga menderita penyakit ini dan sekitar 15% penderita memiliki keluarga dekat yang menderita penyakit ini.-Faktor lingkungan juga berperan dalam terjadinya penyakit ini.. Sklerosis multipel hampir tidak pernah menyerang orang-orang yang tinggal di dekat katulistiwa. Iklim dimana seseorang tinggal pada 10 tahun pertama kehidupannya tampaknya lebih penting daripada iklim dimana seseorang tinggal setelah 10 tahun pertama kehidupannya, Meskipun para ahli menemukan bahwa MS itu berhubungan dengan infeksi (virus) , imunologis, dan factor genetic serta mengekalkan (menetap) sebagai hasil dari factor intrinsik (contoh kegagalan imunoregulasi). Hal yang sudah diterima pada MS akan diturunkan. Derajat pertama, kedua, ketiga relative pada klien dengan MS. Yang meningkatkan resiko secara perlahan. Multipel unlinked genes akan mudah diterima pada MS. Adanya faktor presifitasi terdiri dari terpaparnya pada agen pathogenik sebagai penyebab dari MS masih kontroversi. Ini mungkin karena asosiasi mereka masih acak dan tidak adanya hubungan sebab akibat disana. Faktor presifitasi yang mungkin termasuk infeksi , cedera fisik dan strees emosional,kelelahan berlebihan kehamilan ataupun seperti faktor ini : • Gangguan autoimun (kemungkinan dirangsag / infeksi virus) • Kelainan pada unsur pokok lipid mielin • Racun yang beredar dalam CSS • Infeksi virus pada SSP (morbili, destemper anjing 2.3 Patofisiologi MS ditandai dengan inflamasi kronis, demylination dan gliokis (bekas luka).Keadaan neuropatologis yang utama adalah reaksi inflamatori, mediasi imune, demyelinating proses. Yang beberapa percaya bahwa inilah yang mungkin mendorong virus secara genetik mudah diterima individu. Diaktifkannya sel T merespon pada lingkungan, (ex: infeksi).Tsel ini dalan hubunganya dengan astrosit,merusak barier darah otak, karena itu memudahkan masuknya mediator imun. Faktor ini dikombinasikan dengan hancurnya digodendrosyt (sel yang membuat mielin) hasil dari penurunan pembentukan mielin. Makrofage yang dipilih dan penyebab lain yang menghancurkan sel. Proses penyakit terdiri dari hilangnya mielin, menghilangnya dari oligodendrosyt, dan poliferasi astrosyt. Perubahan ini menghasilkan karakteristik plak , ataun sklerosis dengan flak yang tersebar.Bermula pada sarung mielin pada neuron diotak dan spinal cord yang terserang. Cepatnya penyakit ini menghancurkan mielin tetapi serat saraf tidak dipengaruhi dan impulsif saraf akan tetap terhubung. Pada poin ini klien dapat komplain (melaporkan) aanya fungsi yang merugikan (ex : kelemahan). Bagaimanapaun mielin dapat beregenerasi dan hilangnya gejala menghasilkan pengurangan. Sebagai peningkatan penyakit, mielin secara total robek/rusak dan akson menjadi ruwet. Mielin ditempatkan kembali oleh jeringan pada bekas luka, dengan bentuk yang sulit, plak sklerotik, tanpa mielin impuls saraf menjadi lambat, dan dengan adanya kehancuranpada saraf, axone, impuls secara total tertutup, sebagai hasil dari hilangnya fungsi secara permanen. Pada banyak luka kronik, demylination dilanjutkan dengan penurunan fungsisaraf secara progresif. 2.4 Manifestasi klinik Tergantung pada area system saraf pusat mana yang terjadi demielinasi : Gejala sensorik : paralise ekstremitas dan wajah, parestesia, hilang sensasi sendi dan proprioseptif, hilang rasa posisi, bentuk, tekstur dan rasa getar. Gejala motorik : kelemahan ekstremitas bawah, hilang koordinasi, tremor intensional ekstremitas atas, ataxia ekstremitas bawah, gaya jalan goyah dan spatis, kelemahan otot bicara dan facial palsy. Deficit cerebral : emosi labil, fungsi intelektual memburuk, mudah tersinggung, kurang perhatian, depresi, sulit membuat keputusan, bingung dan disorientasi. Gejala pada medulla oblongata : kemampuan bicara melemah, pusing, tinnitus, diplopia, disphagia, hilang pendengaran dan gagal nafas. Deficit cerebellar : hilang keseimbangan, koordinasi, getar, dismetria. Traktus kortikospinalis : gangguan sfingter timbul keraguan, frekuensi dan urgensi sehingga kapasitas spastic vesica urinaria berkurang, retensi akut dan inkontinensia. Control penghubung korteks dengan basal ganglia : euphoria, daya ingat hilang, demensia. Traktus pyramidal dari medulla spinalis : kelemahan spastic dan kehilangan refleks abdomen. 2.5 WOC 2.6 Penatalaksanaan Bersifat simtomatik : sesuai dengan gejala yang muncul Farmakoterapi : a. Kortikosteroid, ACTH, prednisone sebagai anti inflamasi dan dapat meningkatkan konduksi saraf. b. Imunosupresan : siklofosfamid (Cytoxan), imuran, interferon, Azatioprin, betaseron. c. Baklofen sebagai antispasmodic Blok saraf dan pembedahan dilakukan jika terjadi spastisitas berat dan kontraktur untuk mencegah kerusakan lenih lanjut. Terapi fisik untuk mempertahankan tonus dan kekuatan otot 2.7 Komplikasi Ada eberapa penyakit yang menyerupai sklerosis multiple : - Infeksi otak karena bakteri atau virus (penyakit Lyme, AIDS, sifilis) - Kelainan struktur pada dasar tengkorak dan tulang belakang (artritis berat pada leher, ruptur diskus spinalis) - Tumor atau kista di otak dan medula spinalis (siringomielia) - Kemunduran spinoserebelar dan ataksia herediter (penyakit dimana aksi otot tidak teratur atau otot tidak terkoordinasi) - Stroke ringan (terutama pada penderita diabetes atau hipertensi yang peka terhadap penyakit ini) - Sklerosis amiotrofik lateralis (penyakit Lou Gehrig) - Peradangan pembuluh darah di dalam otak atau medula spinalis (lupus, arteritis). 2.8 Pemeriksaan diagnosis Lumbal punction : pemeriksaan elektroforesis terhadap LCS, didapatkan ikatan oligoklonal yakni terdapat beberapa pita immunoglobulin gamma G (IgG). DCT Scan : gambaran atrofi serebral MRI : menunjukkan adanya plak-plak kecil dan bisa digunakan mengevaluasi perjalanan penyakit dan efek dari pengobatan. Urodinamik : jika terjadi gangguan urinarius. Neuropsikologik : jika mengalami kerusakan kognitifif. BAB III KONSEP ASKEP 3.1 Pengkajian 1. DATA UMUM 2. DATA DASAR : - Aktivitas / istirahat Gejala : kelemahan, intoleransi aktivitas, kebas, parastesia eksterna Tanda : kelemahan umum, penurunan tonus/massa otot, jalan goyah/diseret, ataksia - Sirkulasi Gejala : edema Tanda : ekstremitas mengecil, tidak aktif, kapiler rapuh - Integritas ego Gejala : HDR, ansietas, putus asa, tidak berdaya, produktivitas menurun - Eliminasi Gejala : nokturia, retensi, inkontinensia, konstipasi, infeksi saluran kemih Tanda : control sfingter hilang, kerusakan ginjal - Makanan / cairan Gejala : sulit mengunyah/menelan Tanda : sulit makan sendiri - Hygiene Gejala : bantuan personal hygiene Tanda : kurang perawatan diri - Nyeri / ketidaknyamanan Gejala : nyeri spasme, neuralgia fasial - Keamanan Gejala : riwayat jatuh/trauma, penggunaan alat bantu - Seksualitas Gejala : impotent, gangguan fungsi seksual - Interaksi social Gejala : menarik diri Tanda : gangguan bicara - Neurosensori Gejala : kelemahan, paralysis otot, kebas, kesemutan, diplopia, pandangan kabur, memori hilang, susah berkomunikasi, kejang Tanda : status mental (euphoria, depresi, apatis, peka, disorientasi. Bicara terbata-bata, kebutaan pada satu mata, gangguan sensasi sentuh/nyeri, nistagmus, diplopia Kemampuan motorik hilang, spastic paresis, ataksia, tremor, hiperfleksia, babinski + , klonus pada lutut - Identitas Pada umunya terjadi pada orang-orang yang hidup di daerah utara dengan temperatus tinggi, terutama pada dewasa muda (20-40th) dan dua kali lebih banyak pada wanita daripada pria. - Keluhan Utama Muncul keluhan lemah pada anggota badan bahkan mengalami spastisitas / kekejangan dan kaku otot, kerusakan penglihatan. - Riwayat Penyakit Dahulu Biasanya klien pernah mengalami pengakit autoimun. - Riwayat Penyakit Sekarang Pada umunya terjadi demilinasi ireguler pada susunan saraf pusat perier yang mengakibatkan erbagai derajat penurunan motorik, sensorik, dan juga kognitif 3.2 Pemeriksaan fisik • Keadaan Umum Lemah, jalan goyang, kepala pusing, diplodia, kekejangan otot / kaku otot • T T V - Tekanan darah : menurun - Nadi : cepat – lemah - RR : normal - Suhu : normal - BB & TB : ormal / seusia pemeriksaan. • Body System 1. Sistem Respirasi I : Bentuk dada d/s simetris P : Pergerakan dada simetris d/s P : Sinor A : Tidak ada suara nafas tambahan • Sistem Kardiovaskuler I : Ictus cordis tidak nampak P : Ictus cordis teraba pada ICS 4-5 P : Pekak A : Tidak ada suara tambahan seperti mur-mur • Sistem Intergumen Resiko terjadinya dekubitus karena intoleransi aktivitas • Sistem Gastrointestinal Mengalami perubahan pola makan karena mengalami kesulitan makan sendiri akbiat gejala klinis yang ditimbulkan. • .Sistem Eliminasi Urine BAK : mengalami inkontinensia & nokturia selama melakukan eliminasi uri • Sistem eliminasi alvi BAK : tidak lancar 3 hari 1x dengan konsistensi keras, warn kukning bu khas feses • Sistem Murkulus skeletal Kesadaran : -Apatisi 3-4-6 -Terjadi kelemahan paralisis otot, kesemutan, nyeri (perasaan tertusuk-tusuk pada bagian tubuh tertentu) • Sistem Neurologis • Terjadi perubahan ketajaman penglihatan (diplobia), kesulitan dalam berkomunikasi (disastria) 3.3 Analisa data No Data Etiologi Masalah kep 1DS : - Klien menyatakan mati rasa Gejala motorik Kelemahan, kejanggalan 2- Klien menyatakan kakinya kesemutan Gejala motorik Kesulitan dalam berjalan atau mempertahankan keseimbangan 3- Klien menyatakan sensasi abnormal lainnya (disestesia) Gejala sensorik Tremor (gemetaran) 4- Klien menyatakan gangguan penglihatan Gejala motorik Penglihatan ganda 5- Klien menyatakan sulit mencapai orgasme, berkurangnya sensai di vagina, impotensi pada pria Gejala sensorik Masalah pengendalian saluran pencernaan atau kandung kemih, sembelit 6- Klien menyatakan pusing atau vertigo Gejala sensorik Kekakuan, ketidakstabilan, kelelahan yang luar biasa 3.4 Kemungkinan diagnosa keperawatan 1. Kerusakan mobilisasi fisik b/d kelemahan, paresisi, spastisitas 2. Resiko cedera b/d kerusakan sensori dan penglihatan 3 Kurang perawatan diri 4. Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) BAB IV PENUTUP 4.1 Saran Dalam penulisan makalah ini, kami selaku penyusun menyarankan kepada pembaca sekalian agar dapat menjaga kesehatan terutama dalam menghindari penyakit sklerosis . Ada beberapa pemicu serangan Ms yang harus dihindari : Panas,KerjaBerat,Stress. Kami berharap, dengan adanya penulisan makalah ini, dapat bermanfaat bagi para pembaca sekalian.Terima kasih kami ucapkan atas perhatiannya. 4.2 Kesimpulan Multiple Sclerosis adalah penyakit degeneratif system syaraf pusat (ssp) kronis yang meliputi kerusakan myelin (material lemak dan protein ).Multiple sclerosis secara umum dianggap sebagai auto imun dimana system imun tubuh sendiri yang normalnya bertanggung jawab untuk mempertahankan tubuh terhadap terhadap virus dan bakteri,. Gejala biasanya muncul pada usia 20-40 tahun, lebih sering terjadi pada wanita. Demielinasi bisa terjadi pada bagian otak atau tulang belakang mana saja, dan gejalanya tergantung kepada daerah yang terkena. Demielinasi pada jalur saraf yang membawa sinyal ke otot menyebabkan kelainan gerak (gejala motorik), sedangkan jika terjadi pada jalur saraf yang menuju ke otak menyebabkan kelainan sensasi (gejala sensorik). Gejala awal yang sering terjadi adalah kesemutan, mati rasa atau perasaan aneh pada lengan, tungkai, batang tubuh atau wajah. Ketangkasan dan kekuatan tungkai atau tangan bisa hilang. Beberapa penderita hanya memiliki gejala pada mata berupa penglihatan ganda, kebutaan parsial dan nyeri pada satu mata, penglihatan kabur atau suram atau hilangnya penglihatan pusat (neuritis optikus). Sampai saat ini multiple sclerosis lebih banyak diderita oleh wanita dari pada pria.yang terserang biasanya orang – orang yang berumur antar 20 – 50 tahun.penderita multiple sclerosis banyak ditemukan di daerah – daerah beriklim dingin dan pada umumnya berasal dari ras kaukasoid ( bangsa kulit putih).sedangkan di daerah yang beriklim panas seperti di Indonesia dan pada bangsa kulit berwarna lainya.Multiuple sclerosis menjadi penyakity yang amat sangat langka. DAFTAR PUSTAKA www.google.com Diposkan oleh Be 11 Nursing AE di Marlynn E. Doenges Rencana Asuhan Keperawatan , jakarta Buku kedokteran EGc

Lupus Eritematosus Sistemik

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Lupus eritematosus Sistemik adalah suatu penyakit autoimun yang kronik dan menyerang berbagai sistem dalam tubuh. Tanda dan gejala dari penyakit ini bisa bermacam-macam, bersifat sementara dan sulit untuk didiognisis.Karena itu angka yang pasti dan tentang jumlah orang yang terserang oleh penyakit ini sulit diperoleh .SLE menyerang wanita kira-kira delapan kali lebih sering daripada pria. Penyakit ini sering kali berawal pada akhir masa remaja atau awal masa dewasa. Perjalanan penyakit ini dapat ringan atau berat, secara terus-menerus, dengan kekambuhan yang menimbulkan kerusakan jaringan akibat proses radang yang ditimbulkannya. Gejala utama Lupus Eritmatosus Sistemik (LES) adalah kelemahan umum, anoreksia, rasa mual, demam dan kehilangan berat badan. Sekitar 80% kelainan melibatkan jaringan persendian, kulit, dan darah 30-50% menyebabkan kelainan ginjal, jantung dan sistem saraf, serta 10-30% menyebabkan trombosis arteri dan vena yang berhubungan dengan antibodi antikardiolipin. Manifestasi klinis LES pada sistem saraf dapat berupa neuropsikiartik psikiosis, kejang, stroke, kelumpuhan saraf kranial, maupun mielopati. Angka kejadian mielopati transversa pada LES sekitar 1-2%, sedangkan insiden kejadian mielopati transversa pada populasi umum 1,34/satu juta. Prevalensi LES diantara etnik adalah wanita kulit hitam 1:250, wanita kulit putih 1:4300, dan wanita cina 1:1000. 2. Tujuan • Untuk mengetahui pengertian Lupus eritematosus Sistemik • Untuk mengetahui etiologi Lupus eritematosus Sistemik • Untuk mengetahui patofisiologi Lupus eritematosus Sistemik • Untuk mengetahui manifestasi klinis Lupus eritematosus Sistemik • Untuk mengetahui penatalaksanaan Lupus eritematosus Sistemik • Untuk mengetahui komplikasi Lupus eritematosus Sistemik • Untuk mengetahui Pemeriksaan diagnostik Lupus eritematosus Sistemik • Untuk Mengetahui Asuhan Keperawatan Lupus eritematosus Sistemik 3. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang 2. Tujuan 3. Sistematika Penulisan BAB II KONSEP TEORI 1. Definisi 2. Etiologi 3. Patofisiologi 4. Manifestasi Klinis 5. WOC 6. Penatalaksanaan 7. Komplikasi 8. Pemeriksaan Diagnostik BAB III KONSEP ASKEP 1. Pengkajian 2. Dasar Data Pengkajian Pasien 3. Analisa Data 4. Kemungkinan Diagnosa Keperawatan 5. Rencana Asuhan Keperawatan (NCP) BAB IV PENUTUP 1. Kesimpulan 2. Saran BAB II KONSEP TEORITIS PENYAKIT 1. Definisi Lupus Eritematosus Sistemik adalah suatu penyakit autoimun menahun yang menimbulkan peradangan dan bisa menyerang berbagai organ tubuh, termasuk kulit, persendian dan organ dalam.(http:Lupus_Eritematosus_Sistemik.html) Lupus eritmatosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun yang terjadi karena produksi antibodi terhadap komponen inti sel tubuh sendiri yang berkaitan dengan manifestasi klinik yang sangat luas pada satu atau beberapa organ tubuh, dan ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh darah dan jaringan ikat, bersifat episodik diselangi episode remisi.(www.pediatrik.com) Lupus eritmatosus sistemik (LES) adalah suatu penyakit autoimun yang kronik dan menyerang berbagai sistem dalam tubuh. Tanda dan gejala dari penyakit ini bisa bermacam-macam, bersifat sementara dan sulit untuk didiognisis.Karena itu angka yang pasti dan tentang jumlah orang yang terserang oleh penyakit ini sulit diperoleh .SLE menyerang wanita kira-kira delapan kali lebih sering daripada pria. Penyakit ini sering kali berawal pada akhir masa remaja atau awal masa dewasa.(Sylvia dan Lorraine, Patofisiologi volume II, EGC) Lupus eritmatosus sistemik (LES) adalah penyakit radang multisistem yang sebabnya belum diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi dan eksaserbasi, disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh.(Zuljasri, Ilmu Penyakit Dalam volume II, FKUI) 2. Etiologi Dalam keadaan normal, sistem kekebalan berfungsi mengendalikan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi. Pada lupus, sistem pertahanan tubuh berbalik melawan tubuh, dimana antibodi yang dihasilkan menyerang sel tubuhnya sendiri. Antibosi ini menyerang sel darah, organ dan jaringan tubuh, sehingga terjadi penyakit menahun. Penyebab dari penyakit lupus meliputi pengaruh faktor genetik, lingkungan dan hormonal terhadap respons imun. Lupus merupakan penyakit keturunan. Hanya 10% dari penderita yang memiliki kerabat (orang tua maupun saudara kandung) yang telah menderita lupus atau akan menderita lupus. Statistik menunjukkan bahwa sekitar 5% anak dari penderita penyakit lupus yang akan menderita penyakit lupus. Beberapa faktor lingkungan yang dapat memicu timbulnya lupus :  Infeksi  Antibiotik  Sinar ultraviolet  Stres yang berlebihan  Obat-obatan yang tertentu  Hormon Lupus seringkali disebut penyakit wanita walaupun juga bisa diderita oleh pria. Lupus bisa menyerang usia berapapun, baik pada pria maupun wanita, meskipun 10-15 kali sering ditemukan pada wanita. Faktor hormonal yang menyebabkan wanita sering terserang penyakit lupus daripada pria. Meningkatnya gejala penyakit ini pada masa sebelum menstruasi atau selama kehamilan mendukung keyakinan bahwa hormon (terutama esterogen) mungkin berperan dalam timbulnya penyakit ini. Kadang-kadang obat jantung tertentu dapat menyebabkan sindrom mirip lupus, yang akan menghilang bila pemakaian obat dihentikan 3. Patofisiologi Patogenesis SLE bersifat multifaktor, dan ini mencakup pengaruh faktor genetik, lingkungan dan hormonal terhadap respon imun. Faktor genetik memegang peranan penting dalam kerentanan serta ekspresi penyakit. Sekitar 10-20% pasien LES mempunyai kerabat dekat yang juga menderita LES. Angka terdapatnya LES pada saudara kembar identik pasien LES (24-69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non identik (2-9%). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan, terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Sistem neuroendokrin ikut berperan melalui pengaruhnya terhadap sistem imun. Penelitian telah menunjukkan bahwa sistem neuroendokrin dengan sistem imun saling mempengaruhi secara timbal-balik. Beberapa penelitian berhasil menunjukkan bahwa hormon proklatin dapat merangsang respon imun. Patogenesis SLE dihipotesiskan sebagai berikut : Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang mempunyai predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal terhadap sel T CD 4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen. Sebagai akibatnya memunculkan sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta ekspansi sel B, baik yang memproduksi autoantibodi maupun yang berupa sel memori. Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk yang ditujukan terhadap antigen yang terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein histon dan non histon. Kebanyakan di antaranya dalam keadaan alamiah terdapat dalam bentuk agregat protein atau kompleks protein RNA. Penanganan pada SLE terganggu. Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan pemroresan kompleks imun dalam hati, dan penurunan uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yang menyebabkan timbulnya keluhan/gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal, sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit. Bagian yang penting dalam patogenesis ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten. Penyakit sistemik Lupus Eritematusus (SLE) tampaknnya terjadi akibat tergangunya regulasi kekebalan yang menyebabkan peningkatan auto antibodi yang berlebihan.Gangguan imonoregulasi ini ditimbulkan oleh kombinasi antara fakto-faktor genetik,hormonal(sebagaiman terbukti oleh awitan penyakit yang biasanya terjadi selama usia reproduktif)dan lingkungan (cahaya matahari,luka bakar termal).Obat-obat tertentu seperti hidralazin (apresoline),Prokainamid(pronestyl),isoniazid,klorpromazin dan beberapa pereparat anti konvulsan disamping makanan seperti kecamba alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia atau obat-obatan. Pada SLE,peningkatan produksi autoantibodi diperkirakan terjadi akibat fungsi sel T-supresor yang abnormal sehingga timbul penumpukan kompleks imun dan kerusakan jaringan.inflamasi akan menstimulasi antigen yang selanjutya merangsang antibodi tambahan,dan siklus tersebut berulang kembali. Gambaran klinis dari SLE biasanya dapat membingungkan,terutama pada awalnya.Gejala yang paling sering adalah artritis semetris atau atralgia,gangguan ini dapat ditemukan pada sekitar 90% dari seluruh kasus,sebagaimana manesfistasi awal.sendi-sendi yang paling sering terserang adlah sendi-sendi proksimal tangan,pergelangan tangan, siku,bahu,lutut,dan pergelangan kaki.Poliartritis SLE berbeda dari artritis reumatoid karena jarang bersifat erosif atau menimbulkan deformitas.Nodula subkutan juga jarang ditemukan pada penyakit lupus erimatosus sistemik. Gejala-gejala konstitusonal adalah demam,rasa lelah,lemah,dan berkurangnya berat badan yang biasanya timbul pada masa awal penyakit dan dapat berulang dalam perjalanan penyakit ini.Keletihan dan rasa lemah bisa timbul sebagai gejala skunder dari anemia ringan yang ditimbulkan oleh SLE. 4. Manifestasi Klinis Perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul mendadak disertai dengan tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala yang terkenanya sistem imun. Pada tipe menahun terdapt remisi dan eksaserbsi. Remisinya mungkin berlangsung bertahun-tahun. Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitasi seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi virus/bakteri, obat. Setiap serangan biasanya disertai gejala umum yang jelas seperti demam, nafsu makan berkurang, kelemahan, berat badan menurun, dan iritabilitasi. Yang paling menonjol ialah demam, kadang-kadang disertai menggigil.  Gejala Muskuloskeletal Gejala yang paling sering pada SLE adalah gejala muskuloskeletal, berupa artritis (93%). Yang paling sering terkena ialah sendi interfalangeal proksimal didikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpofalangeal, siku dan pergelangan kaki. Selain pembekakan dan nyeri mungkin juga terdapat efusi sendi. Artritis biasanya simetris, tanpa menyebabkan deformitas, kontraktur atau ankilosis. Adakala terdapat nodul reumatoid. Nekrosis vaskular dapat terjadi pada berbagai tempat, dan ditemukan pada pasien yang mendapatkan pengobatan dengan streroid dosis tinggi. Tempat yang paling sering terkena ialah kaput femoris.  Gejala Mukokutan Kelainan kulit, rambut atau selaput lendir ditemukan pada 85% kasus SLE. Lesi kulit yang paling sering ditemukan pada SLE ialah lasi kulit akut, subakut, diskoid, dan livido retikularis. Ruam kulit berbentuk kupu-kupu berupa eritema yang agak edamatus pada hidung dan kedua pipi. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa bekas luka. Pada bagian tubuh yang terkena sinar matahari dapat timbul ruam kulit yang terjadi karena hipersensitivitas. Lesi ini termasuk lesi kulit akut.Lesi kulit subakut yang khas berbentuk anular. Lesi diskoid berkembang melalui 3 tahap yaitu eritema, hiperkeratosis dan atrofi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan berbentuk silikatriks. Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema periungual.Livido retikularis suatu bentuk vaskulitis ringan, sangat sering ditemui pada SLE.  Ginjal Kelainan ginjal ditemukan pada 68% kasus SLE. Manifestasi paling sering ialah proteinuria atau hematuria. Hipertensi, sindrom nefrotik kegagalan ginjal jarang terjadi, hanya terdapat pada 25% kasus SLE yang urinnya menunjukkan kelainan. Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal, yaitu nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa. Nefritis lupus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis biasanya tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis lupus membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindrom nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin berlangsung cepat atau lambat tapi progresif. Kelainan ginjal yang lain yang mungkin ditemukan pada SLE ialah pielonefritis kronik, tuberkulosis ginjal. Gagal ginjal merupakan salah satu penyebab kematian SLE kronik.  Susunan Saraf Pusat Gangguan susunan saraf pusat terdiri atas 2 kelainan utama yaitu psikosis organik dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE pada sistem lain-lainnya. Pasien menunjukkan gejala halusinasi disamping gejala khas organik otak seperti sukar menghitung dan tidak snggup mengingat kembali gambar-gambar yang pernah dilihat. Psikosis steroid juga termasuk sindrom otak organik yang secara klinis tak dapat dibedakan dengan psikosis lupus. Perbedaan antara keduanya baru dapat diketahui dengan menurunkan atau menaikkan dosis steroid yang dipakai. Psikosis lupus membaik jika dosis steroid dinaikkan dan sebaliknya. Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah afasia, hemiplegia.  Mata Kelainan mata dapat berupa konjungtivitas, perdarahan subkonjungtival dan adanya badan sitoid di retina  Jantung Peradangan berbagai bagian jantung bisa terjadi, seperti perikarditis, endokarditis maupun miokarditis. Nyeri dada dan aritmia bisa terjadi sebagai akibat keadaan tersebut.  Paru-paru Pada lupus bisa terjadi pleuritis (peradangan selaput paru) dan efusi pluera (penimbunan cairan antara paru dan pembungkusnya). Akibat dari kejadian tersebut sering timbul nyeri dada dan sesak napas.  Saluran Pencernaan Nyeri abdomen terdapat pada 25% kasus SLE, mungkin disertai mual dan diare. Gejalanya menghilang dengan cepat jika gangguan sistemiknya mendapat pengobatan adekuat. Nyeri yang timbul mungkin disebabkan oleh peritonitis steril atau arteritis pembuluh darah kecil mesenterium dan usus yang mengakibatkan ulserasi usus. Arteritis dapat juga menimbulkan pankreatitis.  Hemik-Limfatik Kelenjar getah bening yang sering terkena adalah aksila dan sevikal, dengan karakteristik tidak nyeri tekan dan lunak. Organ limfoid lain adalah splenomegali yang biasanya disertai oleh pembesaran hati. Kerusakan lien berupa infark atau trombosis berkaitan dengan adanya lupus antikoagulan. Anemia dapat dijumpai pada periode perkembangan penyakit LES, yang diperantai oleh proses imun dan non-imun. Awitan SLE dapat bersifat perlahan-lahan dan tidak jelas atau akut.Kerena alasan inilah,penderita SLE mungkin tidak terdiagnosis selama bertahun-tahun.Gambaran klinis SLE meliputi lebih dari satu sistem tubuh.Sistem muskuluskeletal terlibat dengn gejala artralgia dan atritis(sinovitis)yang merupakan gambaran yang sering ditemukan pada penyakit SLE.Pembekakan sendi,nyeri tekan,dan rasa nyeri ketika bergerak merupakan gejala yang sering terdapat dan akan disertai dengan rasa kaku pada pagi hari. Beberapa tipe manifestasi kulit yang berbeda dapat terjadi pada penderita SLE,manisfestasi ini mencakup lupus eritematosus kutan subakut(SCLE:subacute cutaneous lupus erythematosus)dan lupus eritematosus diskuid(DLE:diskoid lupus erythematosus).Manisfestasi kulit yang paling dikenal(tetapi frekuensinya kurang dari 50% pasien)adalah lesi akut pada kulit yang terdiri atas ruam berbentuk kupu-kupu yang melintang pada pangkal hidung serta pipi.Gambaran ini mungkin merupakan satu-satunya kelainan kulit pada sebagian kasus lupus eritematosus (diskoid).Pada sebagian pasien gangguan awal pada kulit dapat menjadi prekursor untuk terjadinya gangguan yang bersifat lebis sistemik.Lesi sering memburuk pada saat eksaserbasi(flares)penyakit sistemik dan dapat dipici oleh cahaya matahari tau sinar Utraviolet artifisial. Ulkus oral dapat mengenai mukusa pipi atau palatum durum.Ulkus terbentuk dimana-mana serta sering dengan eksaserbasi dan mungkin disertai lesi kulit.Perikarditis merupakan manifestasi kardiak yang paling ditemukan dan terjadi pada sampai 30% pasien.Kelainan ini mungkin asimtomatik dan seing disertai dengan efusi pleura.Gangguan paru dan pleura terjadi pada 20% hingga 40% pasien :gangguan ini paling sering dimanifestasikan dalam bentuk pleuritis atau efusi pleura. Sistem vaskuler dapat terlibat dengan proses imflamasi pada arteriole terminalis yang menimbulkan lesi papuler,eritematous dan purpura.Semua lesi ini dapat timbul pada ujung jari tangan,siku,jari kaki serta permukaan ekstensor lengan bawah atau sisi lateral tangan dan dapat berlanjut menjadi nekrosi. Limfadenopati terjadi pada 50% dari seluruh pasien SLE pada waktu tertentu selama prjalanan penyakit tersebut.Gangguan renal terdapat pada sekitar 52% penderita SLE dan glomerulus renal merupakan bagian yang biasanya terkena.Derajat kerusakan ginjal menunjukan apakah ganguan renal akan bersifat reversibel. Gambaran neurofsikiatrik yang bervariasi dan frekuen pada SLE kini sudah lebih banyak dikenali.Gambaran ini umumnya diperlihatkan oleh perubahan yang tidak jelas pada pola prilaku atau kemampuan kognitif.Spektrum gangguan sistem saraf pusat sangat luas dan mencakup seluruh bentuk penyakit neorologik.Sering terjadi depresi dan psikosis. 5. WOC 6. Penatalaksanaan Penanganan SLE mencangkup penatalaksanaan penyakit akut dan kronik.Penyakit akut memerlukan intervensi yang ditunjukan untuk mengndalikan peningkatan aktifitas penyakit atau ekserbasi yang dapat meliputi setiap sistem organ.Aktivitas pebyakit merupakan gabungan hasil pemeriksaan klinis dan laboratorium yang mencerminkan inflamasi aktif sekunder akibat SLE.Pentaklasanaan yang keadaan yang lebih kronik meliputi pemantuan priodik dan pengenalan berbagai perubahan klinis yang bermakna yang memerlukan penyesuain terapi. Tujuan terapi mencakup upaya untuk mencegah hilangnya fungsi organ yang progresif,mengurangi kemungkinan terjadinya penyakit akut,meminimalkan disabilitasi yang berhubungan dengan penyakit dan mencegah komplikasi akibat terapi. Terapi medikasi untuk SLE dilaksanakan berdasarkan konsep bahwa imflamasi jaringan setempat diantarai oleh respon imun yang berlebihan atau meninggi,yang intensitasnya bisa bervariasi sangat luas dan memerlukan terapi yang berbeda pada saat yang berbeda.Preparat NSAID digunakan untuk mengatasi manifestasi klinis minor dan kerapkali dipakai bersama kortikosteroid dalam upaya untuk meminimalkan kebutuhan kortikosteroid. Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan organ yang sudah terjadi. Adanya infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari pemeriksaan serologis. Monotoring dan evaluasi bisa dilakukan dengan parameter laboratorium yang dihubungkan dengan aktivitas penyakit. a. Pendidikan terhadap Pasien Pasien diberikan penjelasan mengenai penyakit yang dideritanya (perjalanan penyakit, komplikasi, prognosis), sehingga dapat bersikap positif terhadap penanggulangan penyakit. b. Beberapa Prinsip Dasar Tindakan Pencegahan pada SLE 1. Monitoring yang teratur 2. Penghematan enersi Pada kebanyakan pasien kelelahan merupakan keluhan yang menonjol. Diperlukan waktu istirahat yang terjadwal setiap hari dan perlu ditekankan pentingnya tidur yang cukup. 3. Fotoproteksi Kontak dengan sinar matahari harus dikurangi atau dihindarkan. Dapat juga digunakan lotion tertentu untuk mengurangi kontak dengan sinar matahari langsung. 4. Mengatasi infeksi Pasien SLE rentan terhadap infeksi. Jika ada demam yang tak jelas sebabnya, pasien harus memeriksanya. 5. Merencanakan kehamilan Kehamilan harus dihindarkan jika penyakit aktif atau jika pasien sedang mendapatkan pengobatan dengan obat imunosupresif. c. pengobatannya  Kortikosteroid Kortikosteroid merupakan satu-satunya obat yang paling penting yang tersedia untuk pengobatan SLE.Preparat ini digunakan secara topikal untuk mengobati manifestasi cutaneus,secara oral dengan dosis rendah untuk mengatasi aktivitas penyakit yang ringan dan dengan dosis tinggi untuk mengatasi aktivitas penyakit berat.Pemberian bolus IV dianggap sebagain terapi alternatif yang bisa mengantikan terapi oral dosis-sampai tinggi.Obat-obatan anti malaria merupakan preparat yang efektif untuk mengtasi gejala kutaneus,muskoluskeletal dan sistemik ringan dari SLE.Preparat imono supresan (preparat pengkelat dan analog purin)karena digunakan karena efeknya pada fungsi imun.Pemakaian obat-obat ini dianggap sebagai eksprimen dan umumnya hanya dilakukan bagi pasien dengan bentuk SLE yang seriys serta tidak responsif terhadap terapi konservatif.  Lupus diskoid Terapi standar adalah fotoproteksi, anti-malaria dan steroid topikal. Krim luocinonid 5% lebih efektif dibandingkan krim hidrokrortison 1%. Terapi dengan hidroksiklorokuin efektif pada 48% pasien dan acitrenin efektif terhadap 50% pasien.  Serositis lupus (plueritis, perikarditis) Standar terapi adalah NSAIDs (dengan pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal), anti-malaria dan kadang-kadang diperlukan steroid dosis rendah.  Arthritis lupus Untuk keluhan muskuloskeletal, standar terapi adalah NSAIDs dengan pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal dan ati-malaria. Sedangkan untuk keluhan myalgia dan gejala depresi diberikan serotonin reuptake inhibitor antidepresan (amitriptilin)  Miositis lupus Standar terapi adalah kortikosteroid dosis tinggi (dimulai dengan prednison dosis 1-2 mg/kg/hari dalam dosis terbagi, bila kadar komplemen meningkat mencapai dosis efektif terendah. Metode lain yang digunakan untuk mencegah efek samping pemberian harian adalah dengan cara pemberian prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg) metrotreksat atau azathioprine.  Fenomena Raynaud Standar terapinya adalah calcium channel blockers, misalnya nifedipin dan nitrat, misalnya isosorbid mononitrat.  Lupus nefritis Lupus nefritis kelas II mempunyai prognosis yang baik dan membutuhkan terapi minimal. Peningkatan proteinuria harus diwaspadai karna menggambarkan perubahan status penyakit menjadi lebih parah. Lupus nefritis III memerlukan terapi yang sama agresifnya dengan DPGN. Pada lupus nefritis IV kombinasi kortikosteroid dengan siklofosfamid intravena. Siklofosfamid intravena diberikan setiap bulan, setelah 10-14 hari pemberian, diperiksa kadar leukositnya. Dosis siklofosfamid selanjutnya akan dinaikkan atau diturunkan tergantung pada jumlah leukositnya (normalnya 3.000-4.0000/ml). Pada lupus nefritis V regimen terapi yang di berikan adalah (1) monoterapi dengan kortikosteroid. (2) terapi kombinasi kortikosteroid dengan siklosporin A. (3) sikofosfamid, azathioprine atau klorambusil. Pada lupus nefritis V tahap lanjut, pilihan terapinya adalah dialisis dan transplantasi renal.  Gangguan hematologis Untuk trombositopeni, terapi yang dipertimbangkan pada kelainan ini adalah kortikosteroid, imunoglobulin intravena. Sedangkan untuk anemi hemolitik, terapi yang dipertimangkan adalah kortikosteroid, danazol, dan spelenektomi.  Pneumonitis intersititialis lupus Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid intravena.  Vaskulitis lupus dengan keterlibatan organ penting Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid intravena 7. Komplikasi Komplikasi LES meliputi :  Hipertensi (41%)  sGangguan pertumbuhan (38%)  Gangguan paru-paru kronik (31%)  Abnormalitas mata (31%)  Kerusakan ginjal permanen (25%)  Gejala neuropsikiatri (22%)  Kerusakan muskuloskeleta (9%)  Gangguan fungsi gonad (3%) 8. Pemeriksaaan Diagnostik a. Pemeriksaan Laboratorim Pemeriksaan laboratorium mencakup pemeriksaan : 1. Hematologi Ditemukan anemia, leukopenia, trombosittopenia 2. Kelainan Imunologis Ditemuka sel LE, antibodi antinuklir, komplemen serum menurun, anti DNA, faktor reumatitoid, krioglobulin, dan uji lues yang positif semu. b. Histopatologi • Umum : Lesi yang dianggap karakteristik untuk SLE ialah badan hematoksilin, lesi onion-skin pada pembuluh darah limpa dan endokarditis verukosa Libman-Sacks. • Ginjal : 2 bentuk utama ialah glomerulus proliferatif difus dan nefritis lupus membranosa • Kulit Pemeriksaan imunofluoresensi direk menunjukkan deposit igG granular pada dermo-epidermal junction, baik pada lesi kulit yang aktif (90%) maupun pada kulit yang tak terkena (70%). Yang paling karakteristik untuk SLE ialah jika ditemukan pada kulit yang tidak terkena dan terpanjan. Nama : Ahmad khoiron NPM : 1026010255 Prodi/kelas : keperawatan II E KONSEP ASKEP 1. Pengkajian 1. Identitas Klien Nama, jenis kelamin, umur, status perkawianan, pekerjaan, pendidikan terakhir, alamat 2. Riwayat kesehatan • Riwayat kesehatan sekarang seperti demam, kelemahan, nafsu makan berkurang dan berat badan menurun. • Riwayat kesehatan dahulu Apakah pernah mengalami Hipertensi, gangguan pada mata, nyeri sendi. • Riwayat kesehatan keluarga Apakah ada di antara keluarga pasien ada yang mengalami penyakit yang sama dengan penyakit yang dialami pasien. 3.Kebiasaan sehari-hari • Pola makan : frekuensi, jumlah porsi yang habis, cara makan, makanan yang disukai dan tidak disukai • Pola minum : frekuensi • Pola tidur : jumlah jam tidur, kesulitan dalam tidur • Pola eliminasi (BAK dan BAB) ; frekuensi • Aktivitas sehari-hari : kegiatan yang dilakukan dari bangun tidur sampai mau tidur kembali • Rekreasi : rekreasi yang pernah dilakukan, bersama siapa, frekuensinya. 4.Pemeriksaan Fisik • Keadaan umum : klien tampak lemah, gelisah, cemas dan kesakitan • TTV : - TD : 140/90 mmHg - ND : 100 x/i - RR : 18 x /i - S : 40 C • BB : 58 kg (turun 2 kg dari 60 kg) • Kulit : adanya ruam kupu-kupu pada wajah • Mulut : Terdapat luka • Paru ; adanya cairan di sekitar paru-paru • Sendi : adanya artritis • Darah : - Anemia - Leukosit < 4000 sel/mm - Limfosit < 1500 sel/mm - Trombosit < 100.000 sel/mm 5. Pemeriksaan Penunjang • Rontgen dada : menunjukkan pleuritis • Pemeriksaan dada dengan bantuan stestokop menunjukkan adanya gesekan pleura • Pada kulit terdapat ruam kulit atau lesi yang khas • Hitung jenis darah : menunjukkan adanya penurunan beberapa jenis sel darah • Pada sendi adanya pembekakan dan rasa nyeri bila digerakkan 2. Dasar Data Pengkajian Pasien 1. Aktivitas Gejala : Keletihan, kelemahan, nyeri sendi karena gerakan Tanda : Penurunan semangat bekerja Toleransi terhadap aktivitas rendah Penurunan rentang gerak sendi Gangguan gaya berjalan 2.Sirkuasi Gejala : Nyeri dada Tanda : TD : tekanan nadi melebar Desiran (menunjukkan mekanisme anemia) Warna kulit : pucat/sianosis, membaran mukosa Kulit terdapat ruam 3.Integritas Ego Gejala : Mudah marah dan fruktasi, takut akan penolakan dari orang lain Harga diri buruk Kekuatiran mengenai menjadi beban bagi yang mendekat Tanda : Ansietas, gelisah, menarik diri, depresi, fokus pada diri sendiri 4. Eliminasi Gejala : Sering berkemih, berkemih dengan jumlah besar Tanda : Nyeri tekan pada abdomen Urine encer : terdapat darah atau protein 5. Makanan/Cairan Gejala : Mual/muntah, anoreksia Haus Kesulitan menelan Adanya penurunan BB Tanda : turgor kulit buruk berbentuk ruam Lidah tampak merah daging Bibir : disudut bibir terdapat luka 6. Higiene Gejala : kesulitan untuk mempertahankan aksi (nyeri/anemia berat) Berbagai kesulitan untuk melakukan aktivitas perawatan pribadi Tanda : cerobaoh, tak rapih Kurang bertenaga 7. Neurosensori Gejala : sakit kepala, berdenyut pusing Penurunan penglihatan, bayangan pada mata Kelemahan, keseimbangan buruk Kesemutan pada ekstremitas Tanda : kelemahan otot Penurunan kekuatan otot Kejang Pembekakan sendi simetris 8. Nyeri/Kenyamanan Gejala : nyeri hebat, berdenyut, rasa perih di berbagai lokasi Sakit kepala berulang, tajam, sementara Nyeri tekan abdomen Nyeri dada Tanda : menahan sendi pada posisi nyaman Sensitivitas terhadap palpitasi pada area yang sakit 9. Penapasan Gejala : riwayat inspeksi paru, riwayat abses paru Napas pendek pada istirahat dan aktivitas Tanda : takipnea Distres pernapasan akut Bunyi napas menurun 10. Keamanan Gejala : kekeringan pada mata dan membran mukosa Demam ringan menetap Lesi kulit Gangguan penglihatan Penyembuhan luka buruk Tanda : berkeringat Mengigil berulang, gemetar Luka pada wajah 12. Penyuluhan/Pembelajaran Gejala : riwayat penyakit hipertensi, hematologi Riwayat adanya masalah dengan penyembuhan luka/perdarahan Pertimbangan rencana pemulangan : DRG menunjukkan rerata lama dirawat : 4,8 hari Memerlukan bantuan dalam perawatan diri, pemeliharaan rumah 13. pemeriksaan diagnostik • Ig (Ig M dan Ig G) : peningkatan besar menunjukkan proses autoimun sebab penyebab AR • Sinar x dari sendi yang sakit : menunjukkan pembekuan pada jaringan lunak, erosi sendi, memperkecil jarak sendi • Kerapuhan erirosit : menurun • Jumlah trombosit : menurun • JDL : memungkinkan berkembangannya pneumonia bakterial 3. Analisa Data No Data Etiologi Masalah Keperawatan 1 DO : • Klien tampak lemah • Klien tampak gelisah dan cemas • TTV : - TD : 140/90 mmHg - ND : 100 x/i - RR : 18 x/i - S : 40 C • Terdapat ruam kupu-kupu pada tulang pipi dan pangkal hidung • Ruam pada kulit memburuk karena terkena sinar matahari • Ruam tersebar di bagian tubuh yang terkena/terpapar sinar matahari Gangguan mobilitas Gangguan integritas pada kulit 2 DO : • Klien tampak merasa kesakitan • Kilen tampak kesulitan bernapas • Klien tampak gelisah • Adanya Artritis dan efusi sendi • TTV : - TD : 140/90 mmHg - ND : 100 x /i - RR : 18 x /i • Pernapasan dangkal • Hasil rontgen menunjukkan pleuritis • Pemeriksaan dada dengan bantuan stestokop menunjukkan adanya gesekan pleura Adanya efusi sendi dan sesak Gangguan rasa nyaman (nyeri kronik) 3 DO : • Klien tampak lemah dan demam • Nafsu makan klien berkurang • TTV : - TD : 140/90 mmHg - ND : 100 x/i - S : 40 C • Klien sering mual dan muntah • BB : 58 kg (turun 2 kg dari 60 kg) • Ada luka di bibir • Hb : 10,5 gr/dl • Leukosit < 4000 sel/mm • Limfosit < 1500 sel/mm • Trombosit < 100.000 sel/mm Tidak seimbangnya suplai dan kebutuhan O2 Intoleransi aktivitas 4. kemungkinan Diagnosa Keperawatan 1. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan mobilitas 2. Gangguan rasa nyaman (nyeri kronik) berhubungan dengan efusi sendi dan sesak 3. intoleransi aktivitas berhubungan dengan tidak seimbangnya suplai dan kebutuhan O2 (anemia) 5. Rencana Asuhan keperawatan (NCP) No Diagnosa Keperawatan Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Kolaborasi 1 Gangguan integritas kulit berhubungan dengan gangguan mobilitas setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan gangguan integritas kulit berkurang • Mempertahankan integritas kulit • Mengidentifikasi faktor resiko/perilaku klien untuk mncegah cedera dermal • Melakukan aktivitas sehari-hari • Observasi perbaikan luka/penyembuhan lesi bila ada Mandiri : 1. Kaji integritas kulit, catat perubahan pada turgor, gg. Warna, eritema 2. Bantu untuk latihan rentang gerak pasif atau aktif 3. Inspeksi kulit/titik tekanan secara teratur untuk kemerahan, berikan pijatan lembut 4. Awasi tungkai terhadap kemerahan, perhatikan dengan ketat terhadap pembentukan ulkus Kolaborasi : 5. Gunakan pelindung, mis : lotion sesuai dengan indikasi 1. Kondisi kulit dipengaruhi oleh sirkulasi dan mobilitas jaringan dapat menjadi rapuh dan cenderung untuk infeksi berat 2. Meningkatkan sirkulasii jaringan, mencegah statis 3. Potensial jalan masuk untuk organisme patogen, pada adanya gg. Sistem imun, ini meningkatkan resiko infeksi/pelambatan penyembuhan 4. Menungkatkan aliran balik vena menurunkan statis vena/pembentukan edema 5. Menghindari kerusakan kulit dengan mencegah/menurunkan tekanan terhadap permukaan kulit 2. Gangguan rasa nyaman (nyeri kronik) berhubungan dengan efusi sendi dan sesak Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan rasa nyeri berkurang dan berangsur-angsur menghilang • Menyatakan nyeri hilang/terkontrol • Menunjukkan rileks, istirahat/tidur, peningkatan aktivitas dengan cepat • Menggabungkan keterampilan relaksasi dan aktivitas hiburan ke dalam program kontrol/nyeri Mandiri : 1. Tentukan karakteristik nyeri, mis : tajam, ditusuk. Selidiki perubahan lokasi/intensitas nyeri 2. Pantau tanda vital 3. Berikan tindakan nyaman, mis : relaksasi/latihan napas 4. Dorong untuk sering mengubah posisi. Bantu pasien untuk bergerak di atas tempat tidur, songkong sendi yang sakit di atas dan dibawah, hindari gerakan yang menyentak 5. Anjurkan pasien untuk mandi air hangat. Sediakan waslap hangat untuk mengompres sendi-sendi yang sakit beberapa kali sehari. 6. Berikan masae yang lembut Kolaborasi : 7. Bantu dengan terapi fisik mis : bak mandi dengan kolam bergelombang 1. Nyeri dada biasanya ada dalam beberapa derajat pada pneumonia, juga dapat timbul komplikasi pneumonia seperti perikarditis dan endokarditis 2. Perubahan frekuensi jantung menunjukkan pasien merasa nyeri. 3. Tindakan non-analgesik diberikan dengan sentuhan lembut dapat menghilangkan ketidaknyamanan dan memperbesar efek terapianalgesik 4. Mencegah terjadinya kelelahan umum dan kekakuan sendi. Menstabilkan sendi, mengurangi gerakan/rasa sakit pada sendi 5. Panas meningkatkan relaksasi otot dan mobilitas, menurunkan rasa sakit dan melepaskan kekakuan di pagi hari. Sensitivitas terhadap panas dapat dihilangkan dan luka dermal dapat disembuhkan 6. Menigkatkan relaksasi/mengurangi tegangan otot 7. Memberikan dukungan panas untuk sendi yang sakit. 3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan tidak seimbangnya suplai dan kebutuhan O2 (anemia) Setelah dilakukan intervensi keperawatan 3x24 jam, diharapkan menunjukkan penurunan tanda fisiologis intorelansi • Adanya peningkatan toleransi aktivitas (termasuk aktivitas sehari-hari) • Berpartisipasi dalam aktivitas sehari-hari sesuai tingkat kemampuan Mandiri : 1. Kaji kemampuan pasien untuk melakukan tugas. Catat laporan kelelahan dan keletihan 2. Awasi TD, nadi pernapasan, selama dan sesudah aktivitas. 3. Rencanakan kemajuan aktivitas dengan pasien, termasuk aktivitas yang pasien pandang perlu 4. Gunakan teknik penghematan energi 5. Anjurkan pasien berhenti bila terjadi nyeri dada, kelemahan atu pusing terjadi Kolaborasi : 6. Berikan oksigen tambahan 1. Mempengaruhi pilihan intervensi/bantuan 2. Manifestasi kardiopulmonal dari upaya jantung dan paru untuk membawa jumlah oksigen adekuat ke jaringan 3. Meningkatkan secara bertahap tingkat aktivitas sampai normal dan memperbailai tonus otot tanpa kelemahan. 4. Mendorong pasien melakukan banyak dengan membatasi penyimpangan energi dan mencegah kelemahan 5. Sters berlebihan dapat menimbulkan kegagalan. 6. Memaksimalkan sediaan oksigen untuk kebutuhan seluler PENUTUP 1.Kesimpulan Lupus eritematosus Sistemik adalah suatu penyakit autoimun yang kronik dan menyerang berbagai sistem dalam tubuh. Tanda dan gejala dari penyakit ini bisa bermacam-macam, bersifat sementara dan sulit untuk didiagnosis.Karena itu angka yang pasti dan tentang jumlah orang yang terserang oleh penyakit ini sulit diperoleh .SLE menyerang wanita kira-kira delapan kali lebih sering daripada pria. Penyakit ini sering kali berawal pada akhir masa remaja atau awal masa dewasa.Perjalanan penyakit ini dapat ringan atau berat, secara terus-menerus, dengan kekambuhan yang menimbulkan kerusakan jaringan akibat proses radang yang ditimbulkannya. Gejala utama Lupus Eritmatosus Sistemik (LES) adalah kelemahan umum, anoreksia, rasa mual, demam dan kehilangan berat badan. Penyebab dari penyakit lupus meliputi pengaruh faktor genetik, lingkungan dan hormonal terhadap respons imun. penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan organ yang sudah terjadi. Adanya infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari pemeriksaan serologis. 2.Saran • Perawat bisa mengenal dengan cepat ciri-ciri dari Lupus Erimatosus Sistemik. • Perawat bisa menangani pasien dengan penyakit Lupus Erimatosus Sistemik dengan cepat, teliti dan terampil. • Perawat dapat bekerjasama dengan baik dengan tim kesehatan lain maupun pasien dalam tahap pengobatan. DAFTAR PUSTAKA Price, Sylvia. A dan Wilson, lorraince. M. 2004. Patofisiologi. Edisi 4. Volume 2. Jakarta: EGC Price, Sylvia. A dan Wilson, lorraince. M. 2006. Patofisiologi Edisi 6. Volume 2 Jakarta : EGC Albar, Zuljasri. 2004. Ilmu Penyakit dalam. Edisi 3. Jakarta : FKUI Dongoes, Marilynn E, dkk. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. Jakarta: Buku Kedokteran EGC. http://mediacastore.com/penyakit/538/Lupus_Eritematosus_Sistemik.html http://www.tempo.co.id/medika/arsip/072002/kas-1.html http://www.pediatrik.com/isi03.php?page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110-yljr220.html

skizofrenia

A. DEFINISI Di bawah ini merupakan berbagai definisi Skizofrenia: 1. Skizofrenia adalah kekacauan jiwa yang serius ditandai dengan kehilangan kontak pada kenyataan (psikosis), halusinasi, khayalan (kepercayaan yang salah), pikiran yang abnormal dan menggangu kerja dan fungsi sosial (DSM-IV-TR, 2008) 2. kizofrenia adalah sekelompok reaksi psikotik yang mempengaruhi berbagai area fungsi individu, termasuk berpikir dan berkomunikassi, menerima dan menginterpretasikan realitas, merasakan dan menunjukkan emosi dan berperilaku dengan sikap yang tidak dapat diterima secara sosial (Durand dan Barlow, 2007) 3. Skizofrenia adalah penyakit otak yang timbul akibat ketidakseimbangan pada dopamine, yaitu salah satu sel kimia dalam otak. Ia adalah gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respon emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi normal, sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsangan panca indera) (Arif, 2006). Dari beberapa definisi di atas, penulis menyimpulkan bahwa Skizofrenia adalah gangguan jiwa serius yang bersifat psikosis sehingga penderita kehilangan kontak dengan kenyataan dan mempengaruhi berbagai fungsi individu, seperti afeksi dan kognitif. B. JENIS-JENIS SKIZOFRENIA Terdapat berbagai macam skizofrenia, yaitu sebagai berikut: 1. Skizofrenia simplex Yaitu skizofrenia yang sering timbul pertama kali pada masa pubertas (pada beberapa kasus). Gejala utamanya adalah kedangkalan emosi dan kemunduran kemauan. Gangguan proses berpikir biasanya ditemukan, waham dan halusinasinya jarang sekali ada. 2. Jenis hebrefenik Yaitu jenis skizofrenia yang permulannya perlahan-lahan dan sering timbul pada masa remaja atau antara 15-25 tahun. Gejala yang menyolok ialah gangguan proses berfikir, gangguan kemauan dan adanya depersonalisasi. 3. Jenis katatonik Yaitu jenis skizofrenia yang timbulnya pertama kali antara umur 15-30 tahun, biasanya akut serta didahului oleh stres emosional. Skizofrenia jenis ini melibatkan aspek psikomotorik. Skizofrenia jenis katatonik terbagi menjadi 2, yaitu: a. Stupor Katatonik, merupakan gangguan di mana penderita tidak menunjukkan perhatian sama sekali pada lingkungan. Gejala yang muncul di antaranya adalah mutisme (kadang-kadang mata tertutup) dan muka tanpa mimik b.Gaduh Gelisah Katatonik, merupakan skizofrenia jenis katatonik di mana terdapat hiperaktivitas, tetapi tidak disertai dengan emosi dan rangsangan dari luar. 4. Jenis Paranoid Jenis skizofrenia ini agak berbeda dari jenis-jenis yang lain dalam jalannya jenis penyakit. Jenis ini mulai sesudah umur 30 tahun, penderita mudah tersinggung, cemas, suka menyendiri, agak congkak dan kurang percaya pada orang lain. Hal ini dilakukan penderita karena adanya waham kebesaran dan atau waham kejar ataupun tema lainnya disertai juga dengan halusinasi yang berkaitan. 5.Skizofrenia Residual Yaitu jenis skizofrenia dengan gejala mengalami gangguan proses berpikir, gangguan afek dan emosi, ganguan emosi serta gangguan psikomotor. Namun, tidak ada gejala waham dan halusinasi. Keadaan ini timbul sesudah beberapa kali serangan skizofrenia. 6. Jenis Skizo-Afektif Yaitu jenis skizofrenia yang selain gejala-gejalanya yang menonjol secara bersamaan juga gejala-gejala depresi atau gejala-gejala mania menyertai. Jenis ini cenderung untuk menjadi sembuh tanpa efek tetapi mungkin juga seringkali timbul lagi. C. SEBAB-SEBAB (BIOPSIKOSOSIALSPIRITUAL) Ada beberapa teori yang mungkin bisa menjelaskan penyebab skizofrenia. Adapun teori-teori tersebut seperti tersebut di bawah ini: 1. Teori Neurotransmitter Di dalam otak manusia terdapat berbagai macam neurotransmitter, yaitu substansi atau zat kimia yang bertugas menghantarkan impuls-impuls saraf. Ada beberapa neurotransmitter yang diduga berpengaruh terhadap timbulnya skizofrenia. Dua di antaranya yang paling jelas adalah neurotransmitter dopamine dan serotonin. Berdasarkan penelitian, pada pasien-pasien dengan skizofrenia ditemukan peningkatan kadar dopamine dan serotonin di otak secara relatif. Menurut Mesholam Gately et.al dalam jurnal Neurocognition in First-Episode Schizophrenia: A Meta Analytic Review (2009), gangguan neurokognisi adalah fitur utama pada episode pertama penderita skizofrenia. Gangguan tersebut membuat sistem kognisi tidak dapat bekerja seperti kondisi normal. 2. Teori Genetik Diduga faktor genetik juga berpengaruh terhadap timbulnya skizofrenia. Walaupun demikian, terbukti dari penelitian bahwa skizofrenia tidak diturunkan secara hukum Mendeell (jika orang tua skizofrenia, belum tentu anaknya skizofrenia juga). Dari penelitian didapatkan prevalensi sebagai berikut: a. Populasi umum 1% b. Saudara Kandung 8%-10% c. Anak dengan salah satu orang tua skizofrenia 12%-15% d. Kembar 2 telur (dizigot) 12%-15% e. Anak dengan kedua orang tua skizofrenia 35%-40% f. Kembar monozigot 47%-50% Sampai saat ini, belum ada hal yang pasti mengenai penyebab skizopfrenia. Namun demikian peneliti-peneliti meyakini bahwa interaksi antara genetika dan lingkungan yang menyebabkan skizofrenia. Menurut Imransyah, bahwa hanya 10% dari genetika yang dapat menyebabkan skizofrenia, sedangkan Hawari (Arif, 2006) mengakui bahwa skizofrenia dapat dipicu dari faktor genetik. Namun jika lingkungan sosial mendukung seseorang menjadi pribadi yang terbuka maka sebenarnya faktor genetika ini bisa diabaikan. Namun jika kondisi lingkungan mendukung seseorang bersikap asosial maka penyakit skizofrenia menemukan lahan suburnya. Penelitian lain dari Clarke et al yang berjudul Evidence for an Interaction Between Familial Liability and Prenatal Exposure to Infection in the Causation of Schizophrenia (2009), menyebutkan bahwa Komplikasi kelahiran dan keluarga yang memiliki resiko psikotik terbukti menyebabkan skizofrenia dengan persentase resiko 38% - 46%. 3. Predisposisi Genetika Meskipun genetika merupakan faktor resiko yang signifikan, belum ada penanda genetika tunggal yang diidentifikasi. Kemungkinan melibatkan berbagai gen. Penelitian telah berfokus pada kromosom 6, 13, 18, dan 22. Resiko terjangkit skizofrenia bila gangguan ini ada dalam keluarga, yaitu satu orang tua yang terkena 12%-15%, kedua orang tua terkena penyakit ini resiko 35%-40%, saudara sekandung terjangkit resiko 8%-10%, kembar dizigotik yang terkena resiko 12%-15%, bila kembar monozigotik yang terkena resiko 47%- 50%. Para ilmuwan sudah lama mengetahui bahwa skizofrenia diturunkan, 1% dari populasi umum tetapi 10% pada masyarakat yang mempunyai hubungan derajat pertama seperti orang tua, kakak laki laki ataupun perempuan dengan skizofrenia. Masyarakat yang mempunyai hubungan derajat ke dua seperti paman, bibi, kakek / nenek dan sepupu dikatakan lebih sering dibandingkan populasi umum. Kembar identik 40% sampai 65% berpeluang menderita skizofrenia sedangkan kembar dizigotik 12%. Anak dan kedua orang tua yang skizofrenia berpeluang 40%, satu orang tua 12 % (Makalah pembahas). Lenzenweger, Mark et al. dalam jurnal Resolving The Latent Structure of Schizophrenia Endophenotypes Using Expectation-Maximization-Based Finite Mixture Modelling (2007) melakukan penelitian mengenai struktur laten fenotip pada beberapa subjek yang diindikasikan skizofrenia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa subjek tersebut memiliki kecenderungan kepribadian skizotipal yang sangat berpotensi untuk mengarah pada gangguan psikotik. 4. Abnormalitas Perkembangan Syaraf Penelitian menunjukkan bahwa malformasi janin minor yang terjadi pada awal gestasi berperan dalam manifestasi akhir dari skizofrenia. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan saraf dan diidentifikasi sebagai resiko yang terus bertambah, meliputi individu yang ibunya terserang influenza pada trimester kedua, individu yang mengalami trauma atau cedera pada waktu dilahirkan, dan penganiayaan atau trauma di masa bayi atau masa anak-anak. 5. Abnormalitas Struktur dan aktivitas Otak Pada beberapa subkelompok penderita skizofrenia, teknik pencitraan otak (CT, MRI, dan PET) telah menujukkan adanya abnormalitas pada struktur otak yang meliputi pembesaran ventrikel, penurunan aliran darah ventrikel, terutama di korteks prefrontal penurunan aktivitas metaolik di bagian-bagian otak tertentu atrofi serebri. Ahli neurologis juga menemukan pemicu dari munculnya gejala skizofrenia. Pada para penderita skizofrenia diketahui bahwa sel-sel dalam otak yang berfungsi sebagai penukar informasi mengenai lingkungan dan bentuk impresi mental jauh lebih tidak aktif dibanding orang normal. Temuan ini bisa menjabarkan dan membantu pengobatan munculnya halunisasi dan gangguan pemikiran pasien skizofrenia, demikian menurut tim dari Harvard Medical School. Pada saat yang sama para ilmuwan memonitor gelombang otak partisipan dengan menggunakan alat electroencephalogram (EEG) yang bisa memberi informasi aktivitas elektrik otak. Kedua kelompok memberi respon terhadap gambar-gambar tersebut selama satu detik saja. Namun mereka yang menderita skizofrenia membuat lebih banyak kesalahan dan membutuhkan waktu lebih banya 200 milidetik dibanding yang sehat. Ketika para ilmuwan mengamati pola gelombang otak, mereka menemukan bahwa pasien skizofrenia memperlihatkan tidak adanya aktivitas pasti dalam gelombang otakknya ketika menekan tombol-tombol jawaban. Sementara partisipan yang sehat memiliki aktivitas gelombang gama yang bisa menjadi identifikasi bahwa otak mereka memproses informasi visual sebagai petunjuk responnya. “Ada perbedaan yang sangat dramatis. Para penderita skizofrenia tidak memperlihatkan respons gama sama sekali”, komentar Dr. Robert McCarley, pemimpin studi. Jika komunikasi yang paling efisien terjadi pada gelombang 40 hertz, maka penderita skizofrenia menggunakan frekuensi yang jauh lebih rendah. Ini sama saja artinya dengan mereka tidak mempunyai proses komunikasi yang efektif pada sel penukar informasi dan bagian otaknya. 6. Ketidakseimbangan Neurokimia (neurotransmitter) Skizofrenia memiliki basis biologis, seperti halnya penyakit kanker dan diabetes. Penyakit ini muncul karena ketidakseimbangan yang terjadi pada dopamine, yakni salah satu sel kimia dalam otak (neurotransmitter). Otak sendiri terbentuk dari sel saraf yang disebut neuron dan kimia yang disebut neurotransmitter. Penelitian terbaru bahkan menunjukkan serotonin, norepinefrin, glutamate, dan GABA juga berperan dalam menimbulkan gejala-gejala skizofrenia. Majorie Wallace, pimpinan eksekutif yayasan Skizofrenia SANE, London, berkomentar bahwa, di dalam otak terdapat miliaran sambungan sel. Setiap sambungan sel menjadi tempat untuk meneruskan maupun menerima pesan dari sambungan sel lainnya. Sambungan sel tersebut melepaskan zat kimia yang disebut neurotransmitter yang menbawa pesan dari ujung sambungan sel yang satu ke ujung sambungan sel yang lain. Di dalam otak penderita skizofrenia, terdapat kesalahan atau kerusakan pada sistem komunikasi tersebut. Biasanya mereka mengalami halusinasi. Halusinasi selalu terjadi saat rangsangan terlalu kuat dan otak tidak mampu menginterpretasikan dan merespons pesan atau rangsangan yang datang. Penderita skizofrenia mungkin mendengar suara-suara atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada, atau mengalami suatu sensasi yang tidak biasa pada tubuhnya. Auditory hallucinations, gejala yang biasanya timbul, yaitu penderita merasakan ada suara dari dalam dirinya. Kadang suara itu dirasakan menyejukkan hati, memberi kedamaian, tapi kadang suara itu menyuruhnya melakukan sesuatu yang sangat berbahaya, seperti bunuh diri. Gejala lain adalah menyesatkan pikiran atau delusi, yakni kepercayaan yang kuat dalam menginterpretasikan sesuatu yang kadang berlawanan dengan kenyataan. Misalnya, pada penderita skizofrenia, lampu lalu lintas di jalan raya yang berwarna merah kuning hijau, dianggap sebagai suatu isyarat dari luar angkasa. 7. Proses Psikososial dan Lingkungan Proses psikososial dan lingkungan juga sangat berpengaruh untuk menyebabkan skizofrenia. Setiap orang pada umumnya memiliki kecenderungan untuk skizofrenia 1%. Pada individu yang memiliki hubungan dekat dengan seseorang yang terjangkit skizofrenia, kecenderungannya sekitar 10%. Jika seseorang hidup dalam lingkungan yang mendukung asosial, kemungkinan seseorang untuk mengidap skizofrenia tinggi. Namun bila sedeorang hidup dalam lingkungan yang terbuka, walaupun secara genetik dia memiliki kecenderungan skizofrenia, hal itu bisa diminimalisisr bahkan dihilangkan. D.PERSPEKTIF ALIRAN-ALIRAN Berbagai cara dilakukan untuk memahami dan mengatasi skizofrenia. Dalam perspektif psikologis, khususnya perspektif psikodinamik dan perkembangan, diyakini bahwa skizofrenia bukanlah gangguan yang terjadi secara langsung dan tiba-tiba melainkan merupakan hasil suatu proses panjang. Proses berakar pada gangguan relasi yang paling awal, yaitu antara bayi dan caregiver-nya (McGlashan; Arif, 2006). Sementara itu teori keluarga menjelaskan bawah beberapa pasien skizofrenia sebagaimana orang mengalami penyakit non-psikiatrik berasal dari keluarga dengan disfungsi. Selain itu, hal yang juga relevan adalah perilaku keluarga yang patologis, yang secara signifikan meningkatkan stress emosional yang harus dihadapi oleh pasien skizofrenia (makalah pembahas). Gangguan dini dalam relasi ini kemudian mengakibatkan kerentanan dan berujung pada kerusakan yang berat bagi individu yang bersangkutan. Interaksi bayi dengan pengasuh atau bahkan ibunya (yang menjadi primary object) harus menghasilkan ruang psikologis yang memadai untuk pertumbuhan kepribadiannya. Demikian juga dengan anggota keluarga lainnya yang mungkin akan menjadi external object relations pertama bagi si bayi (bila bayi tumbuh di lingkungan keluarganya). Respon positif terhadap keberadaan bayi tersebut akan meneguhkan dan membentuk kepribadian yang sehat pada bayi tersebut. Kepribadian yang sehat ini kelak ditandai dengan coping yang baik terhadap masalah yang dihadapi. Dari perspektif behavioral dijelaskan bahwa patologi terjadi karena proses belajar yang salah. Hal ini berkaitan dengan perspektif kognitif yang menjelaskan bahwa patologi terjadi karena keyakinan dan proses kognitif yang salah, yang bisa jadi karena proses belajar yang salah juga. Prinsip reward dan punishment pada proses belajar juga akan terkait dengan pengaktualisasian potensi yang dibatasi jika individu terlalu banyak mendapat punishment saat belajar, sehingga patologi muncul. Jika skizofrenia ditilik dari perspektif humanistik, maka pasti ada pembatasan aktualisasi diri yang berlebihan pada diri penderita gangguan psikotik ini (Alwisol, 2007). Sementara jika ditilik dari perspektif spiritual Islami, penderita gangguan psikotik adalah hasil dari ketidakseimbangan kesehatan mental, kesehatan sosial, kesehatan spiritual, kesehatan finansial, dan kesehatan fisik. Menurut perspektif spiritual Islami, manusia akan sehat secara holistik jika mampu menyeimbangkan seluruh aspek kesehatan yang dimiliknya (Adz Zakiey, 2007). Dari penjabaran di atas, jelas bahwa diperlukan multiperspektif untuk menjelaskan skizofrenia secara tepat. E. GEJALA Ada banyak gejala-gejala skizofrenia. Gejala-gejala ini dirumuskan oleh berbagai sumber. Menurut Diagnostic and Statistical Manual Of Mental Disorder IV-TR, gejala khas skizofrenia berupa adanya: 1. Waham atau Delusi (keyakinan yang salah dan tidak bisa dikoreksi yang tidak sesuai dengan kenyataan, maupun kepercayaan, agama, dan budaya pasien atau masyarakat umum) 2. Halusinasi (persepsi panca indera tanpa adanya rangsangan dari luar) 3. Pembicaraan kacau 4. Perilaku kacau 5. Gejala negatif (misalnya berkurangnya kemampuan mengekspresikan emosi, kehilangan minat, penarikan diri dari pergaulan sosial) Selain itu untuk menegakkan diagnosa skizofrenia menurut DSM IV-TR (2008) adalah munculnya disfungsi sosial, durasi gejala khas paling sedikit 6 bulan, tidak termasuk gangguan perasaan (mood), tidak termasuk gangguan karena zat atau karena kondisi medis, dan bila ada riwayat Autistic Disorder atau gangguan perkembangan pervasive lainnya, diagnosis skizofrenia dapat ditegakkan bila ditemui halusinasi dan delusi yang menonjol selama paling tidak 1 bulan. Menurut Bleuler, ada 2 kelompok gejala-gejala skizofrenia, yaitu: 1. Gejala Primer, yang meliputi: a. Gangguan proses pikiran (bentuk, langkah dan isi pikiran). Pada skizofrenia inti, gangguan memang terdapat pada proses pikiran. b. Gangguan afek dan emosi. Gangguan ini pada skizofren berupa: 1) Parathimi, yaitu apa yang seharusnya menimbulkan rasa senang dan gembira, pada penderita malah menimbulkan rasa sedih atau marah. 2) Paramimi, yaitu penderita merasa senang tetapi menangis c. Gangguan kemauan, yaitu gangguan di mana banyak penderita skizofrenia memiliki kelemahan kemauan. Mereka tidak dapat mengambil keputusan dan tidak dapat bertindak dalam sebuah situasi menekan. Gangguan kemauan yang timbul antara lain: 1) Negativisme, yaitu sikap atau perbuatan yang negatif atau berlawanan terhadap suatu permintaan. 2) Ambivalensi, yaitu sikap yang menghendaki seseuatu yang berlawanan pada waktu yang bersamaan. 3) Otomatisme, yaitu penderita merasa kemauannya dipengaruhi oleh orang lain atau oleh tenaga dari luar, sehingga dia melakukannya secara otomatis. d. Gejala psikomotor, disebut juga dengan gejala-gejala katatonik. Sebetulnya gejala katatonik sering mencerminkan gangguan kemauan. Bila gangguan hanya ringan saja, maka dapat dilihat gerakan-gerakan yang kurang luwes atau agak kaku. 2. Gejala Sekunder, yang meliputi: a.Waham. Pada penderita skizofrenia waham sering tidak logis sama sekali dan sangat bizar. Tetapi penderita tidak menginsafi hal ini dan untuk dia wahamnya merupakan fakta dan tidak dapat diubah oleh siapapun. b. Halusinasi. Pada penderita skizfrenia, halusinasi timbul tanpa penurunan kesadaran dan hal ini merupakan suatu gejala yang hampir tidak dijumpai pada keadaan lain. Menurut Bleuler, seseorang didioagnosa menderita skizofrenia apabila terdapat gangguan-gangguan primer dan disharmoni pada unsur-unsur kepribadian yang diperkuat dengan adanya gejala-gejala sekunder. Menurut Kut Schneider, terdapat 11 gejala skizofrenia yang terdiri dari 2 kelompok, yaitu sebagai berikut: 1. Kelompok A, halusinasi pendengaran, yaitu: a. Pikirannya dapat didengar sendiri b. Suara-suara yang sedang bertengkar c. Suara-suara yang mengomentari perilaku penderita 2. Kelompok B, gangguan batas ego, yang meliputi: a. Tubuh dan gerakan penderita dipengaruhi oleh kekuatan dari luar b. Pikirannya diambil keluar c. Pikirannya dipengaruhi oleh orang lain d. Pikirannya diketahui oleh orang lain e. Perasaannya dibuat oleh orang lain f. Kemauannya dipengaruhi orang lain g. Dorongannya dikuasai orang lain h. Persepsi yang dipengaruhi oleh waham Menurut Kut Schneider, seseorang bisa didiagnosa penderita skizofrenia bila ada gejala dari kelompok A dan Kelompok B, dengan syarat kesadaran penderita tidak menurun. Gejala lain yang diungkap adalah: 1. Gejala-Gejala Positif, yaitu penambahan fungsi dari batas normal, meliputi: a. Delusi. Delusi adalah keyakinan yang oleh kebanyakan orang dianggap misinterpretasi terhadap realitas. Delusi memiliki bermacam-macam bentuk, yaitu delusion of grandeur (waham kebesaran) yaitu keyakinan irasional mengenai nilai dirinya, delusion of persecution yaitu yakin dirinya atau orang lain yang dekat dengannya diperlakukan dengan buruk oleh orang lain dengan cara tertentu, delusion of erotomanic yaitu keyakinan irasional bahwa penderita dicintai oleh seseorang yang lebih tinggi statusnya, delusion of jealous yaitu yakin pasangan seksualnya tidak setia, dan delusion of somatic yaitu merasa menderita cacat fisik atau kondisi medis tertentu. b. Halusinasi Gejala-gejala psikotik dari gangguan perseptual dimana berbagai hal dilihat didengar, atau diindera meskipun hal-hal itu tidak real (benar-benar ada). 2. Gejala-Gejala Negatif, yaitu pengurangan fungsi dari batas normal, meliputi: a. Avolisi Yaitu apati atau ketidakmampuan untuk memulai atau mempertahankan kegiatan-kegiatan penting. b. Alogia Yaitu pengurangan dalam jumlah atau isi pembicaraan. c. Anhedonia Yaitu ketidakmampuan untuk mengalami kesenangan yang terkaitu dengan beberapa gangguan suasana perasaan dan gangguan skizofrenik. d. Afek Datar Yaitu tingkah laku yang tampak tanpa emosi. 3. Gejala Disorganisasi, yaitu ketidakharmonisan fungsi, meliputi: a. Disorganisasi dalam pembicaraan (Disorganized Speech) Gaya bicara yang sering terlihat pada penderita skizofrenia termasuk inkoherensi dan ketiadaan pola logika yang wajar. b. Afek yang tidak pas (inappropriate Affect) dan perilaku yang disorganisasi Afek yang tidak pas merupakan ekspresi emosi yang tidak sesuai dengan aslinya. Perilaku yang disorganisasi adalah perilaku yang tidak lazim. Untuk mendiagnosa seseorang skizofrenia, seseorang harus menunjukkan 2 atau lebih gejala positif, negatif, atau disorganisasi dengan porsi yang besar selama paling sedikit 1 bulan. Tanda awal skizofrenia seringkali terlihat saat kanak-kanak. Tanda-tanda tersebut perlu untuk diketahui untuk membedakan gejala skizofrenia pada anak dengan proses belajar anak yang masih dalam bentuk bermain. Anak seringkali berimajinasi tentang peran-peran baru dalam permainannya, namun hal tersebut bukanlah sebuah gangguan. Indikator premorbid (pra-sakit) pada anak pre-skizofrenia antara lain: 1. Ketidakmampuan anak mengekspresikan emosi (wajah dingin, jarang tersenyum, tak acuh) 2. Penyimpangan komunikasi (anak sulit melakukan pembicaraan terarah) 3. Gangguan atensi (anak tidak mampu memfokuskan, mempertahankan, serta memindahkan atensi) Adapun gejala awal yang terlihat pada tahap-tahap tertentu dalam perkembangan adalah sebagai berikut: 1. Pada anak perempuan, tampak sangat pemalu, tertutup, menarik diri secara sosial, tidak bisa menikmati rasa senang, dan ekspresi wajah sangat terbatas 2. Pada anak laki-laki, sering menantang tanpa alasan jelas, menggangu, dan tidak disiplin 3. Pada bayi, biasanya terdapat problem tidur makan, gangguan tidur kronis, tonus otot lemah, apatis, dan ketakutan terhadap objek atau benda yang bergerak cepat 4. Pada balita, terdapat ketakutan yang berlebihan terhadap hal-hal baru seperti potong rambut, takut gelap, takut terhadap label pakaian, takut terhadap benda-benda bergerak 5. Pada anak usia 5-6 tahun, mengalami halusinasi suara seperti mendengar bunyi letusan, bantingan pintu atau bisikan, juga halusinasi visual seperti melihat adanya sesuatu yang bergerak meliuk-liuk, ular, bola-bola bergelindingan, lintasan cahaya dengan latar belakang warna gelap. Anak terlihat bicara atau tersenyum sendiri, menutup telinga, sering mengamuk tanpa sebab. F. ONSET Siapa saja bisa terkena skizofrenia, tanpa memandang jenis kelamin, status sosial maupun tingkat pendidikan. Usia terbanyak berdasarkan statistik adalah 15-30 tahun, dimana gejala skizofrenia mulai muncul pada umur 20 tahun untuk pria, sedangkan untuk wanita gejala-gejala skizofrenia mulai muncul pada umur 20 tahun atau awal umur 30 tahun. Namun, pada saat ini juga mulai dikenal skizofrenia anak (sekitar usia 8 tahun, bahkan ada kasus usia 6 tahun) dan late-onset skizofrenia (usia lebih dari 45 tahun). Berbagai hal lain yang bisa meningkatkan seseorang untuk mengidap skizofrenia, yaitu memiliki garis keturunan skizofrenia, terjangkit virus saat dalam kandungan, kekurangan gizi saat dalam kandungan, stresor lingkungan yang tinggi, memakai obat-obatan psikoaktif saat remaja, dan lain-lain. Penulis mendapatkan sumber kasus onset dini skizofrenia dari DSM-IV-TR (2008). Sumber tersebut tidak menjelaskan secara rinci bagaimana kasus dan waktu terjadinya. Sumber hanya menerangkan bahwa memang ada kesulitan untuk mendiagnosis anak yang terkena skizofrenia, terutama pada fitur visual halusinasi. Penulis mencoba memberikan contoh kasus ini dari film Pans Labirynth,dimana ada seorang anak yang sering “bermain” dengan dunia peri namun juga memiliki keluarga di dunia nyata. Anak tersebut benar-benar tidak dapat membedakan mana dunia nyata dan dunia delusi. Sementara itu menurut Kaplan, Sadock, & Grebb; Davison & Neale ( Fausiah & Widur; makalah pembahas) onset untuk laki laki 15 sampai 25 tahun sedangkan wanita 25-35 tahun. Prognosisnya adalah lebih buruk pada laki laki dibandingkan wanita. Sedangkan onset skizofrenia sebelum usia 10 tahun atau setelah usia 50 tahun sangat jarang terjadi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pria lebih mungkin memunculkan simton negatif dibandingkan wanita, dan wanita tampaknya memiliki fungsi sosial yang lebih baik daripada pria. Pada kesimpulannya individu pada umur berapapun rawan menderita skizofrenia bila faktor biologis berinteraksi dengan faktor psikologis dan sosial. G. PREVALENSI Prevalensi (kemungkinan terjadi) gangguan skizofrenia dapat dilihat pada daftar di bawah ini: 1. Populasi umum 1% 2. Saudara Kandung 8%-10% 3. Anak dengan salah satu orang tua skizofrenia 12%-15% 4. Kembar 2 telur (dizigot) 12%-15% 5. Anak dengan kedua orang tua skizofrenia 35%-40% 6.Kembar monozigot 47%-50% H. TERAPI 1. Terapi Biologis/Medis Sejak tahun 1990-an telah ditemukan obat bagi penderita skizofrenia. Obat yang disebut Neuroleptics ini mampu mengurangi gejala kegilaan yang muncul pada penderita skizofrenia. Menurut Hawari, obat skizofrenia versi lama hanya menyembuhkan gejala positif skizofrenia, seperti gampang mengamuk dan gemar berteriak-teriak. Sayangnya, obat tersebut tidak menyembuhkan gejala negatif. Penderita skizofrenia yang mengonsumsi obat versi lama masih sering tampak bengong dan gemar melamun. Sementara obat skizofrenia versi baru, menurut Hawari (Arif, 2006), berhasil menyembuhkan gejala-negatif sekaligus positif. Obat bagi penderita skizofrenia biasa disebut neuroleptics (berarti mengendalikan syaraf). Jika efektif, obat ini mampu membantu orang untuk berpikir lebih jernih dan mengurangi delusi atau halusinasi. Obat ini bekerja dengan cara mempengaruhi gejala positif (delusi, halusinasi, agitasi). Dalam kadar yang lebih rendah, obat ini dapat mempengaruhi gejala-gejala negatif dan disorganisasi. Fungsi neuroleptics adalah antagonis dopamin. Seperti diketahui bahwa jumlah dopamine yang berlebihan menjadi pemicu munculnya skizofrenia. Penelitian dalam Journal of Psychiatry menyebutkan bahwa penggunaan milnacipran mampu menghambat afek negative skizofrenia seperti avolisi, alogia, dan asocial. Kasus ini terjadi pada penderita skizofrenia berusia 37 tahun yang dirawat di rumah sakit jiwa (Hoaki et al, 2009) 2. Terapi Keluarga Selain terapi obat, psikoterapi keluarga adalah aspek penting dalam pengobatan. Pada umumnya, tujuan psikoterapi adalah untuk membangun hubungan kolaborasi antara pasien, keluarga, dan dokter atau psikolog. Melalui psikoterapi ini, maka pasien dibantu untuk melakukan sosialisasi dengan lingkunganya. Keluarga dan teman merupakan pihak yang juga sangat berperan membantu pasien dalam bersosialisasi. Dalam kasus skizofrenia akut, pasien harus mendapat terapi khusus dari rumah sakit. Kalau perlu, ia harus tinggal di rumah sakit tersebut untuk beberapa lama sehingga dokter dapat melakukan kontrol dengan teratur dan memastikan keamanan penderita. Tapi sebenarnya, yang paling penting adalah dukungan dari keluarga penderita, karena jika dukungan ini tidak diperoleh, bukan tidak mungkin para penderita mengalami halusinasi kembali. Menurut Dadang, sejumlah penderita skizofrenia juga sering kambuh meski telah menyelesaikan terapi selama enam bulan. Karena itu, agar halusinasi tidak muncul lagi, maka penderita harus terus menerus diajak berkomunikasi dengan realitas. Namun, keluarga juga tidak boleh berlebih-lebihan dalam memperlakukan penderita skizofrenia. Menurut dr. LS Chandra, SpKJ, penderita skizofrenia memerlukan perhatian dan empati, namun keluarga perlu menghindari sikap expressed emotion (EE) atau reaksi berlebihan seperti sikap terlalu mengkritik, memanjakan, dan terlalu mengontrol yang justru bisa menyulitkan penyembuhan. Seluruh anggota keluarga harus berperan dalam upaya dukungan bagi penderita skizofrenia. Upaya membentuk self help group di antara keluarga yang memiliki anggota keluarga skizofrenia adalah sebuah langkah positif (Arif, 2006). Kelompok pembahas menyajikan terapi kelompok sebagai salah satu terapi untuk skizofrenia. Menurut penulis, pemberian terapi kelompok pada penderita skizofrenia kurang tepat. Alasan utama adalah terapi kelompok biasa digunakan pada proses rehabilitasi pecandu narkotika (dalam proses penyembuhan). Konsep dasar terapi kelompok adalah mediasi masalah dalam kelompok, dinamikan kelompok, atau outbond (dengan individu yang mengalami masalah yang sama). Bagaimana mungkin penderita skizofrenia bisa melakukan hal-hal di atas? Kelompok pembahas menyajikan beberapa hal sebagai berikut tentang terapi kelompok: 1. Memberikan pendidikan tentang skizofrenia, termasuk simtom dan tanda-tanda kekambuhan. 2. Memberikan informasi tentang dan memonitor efek pengobatan dengan antipsikotik. 3. Menghindari saling menyalahkan dalam keluarga. 4. Meningkatkan komunikasi dan ketrampilan pemecahan masalah dalam keluarga. 5. Mendorong pasien dan keluarga untuk mengembangkan kontak sosial mereka, terutama berkaitan dengan jaringan pendukung. 6. Meningkatkan harapan bahwa segala sesuatu membaik, dan pasien mungkin tidak harus kembali ke rumah sakit. Poin ke 3, 4, dan 5 sebenarnya adalah bagian dari proses terapi keluarga. Jadi mungkin masih ada kerancuan pada kelompok pembahas mengenai konsep dasar terapi kelompok dan terapi keluarga. 3. Terapi Psikososial Salah satu efek buruk skizofrenia adalah dampak negatif pada kemampuan orang untuk berinteraksi dengan orang lain. Meskipun tidak sedramatis halusinasi dan delusi, masalah ini dapat menimbulkan konflik dalam hubungan sosial. Para klinisi berusaha mengajarkan kembali berbagai keterampilan sosial seperti keterampilan percakapan dasar, asertivitas, dan cara membangun hubungan pada penderita skizofrenia. Klien juga diberikan terapi okupasi sebagai bagian untuk membantu mereka melaksanakan tugas sederhana dalam kehidupan sehari-hari (Smith, Bellack, dan Liberman, 1996; Durand dan Barlow, 2007) 4. Psikoterapi Islami Psikologi Islami, dalam Jurnal Psikologi Islami, juga memberikan metode terapi untuk mengatasi gangguan kejiwaan berat. Psikoterapi doa sebenarnya dilakukan oleh klien yang mengalami gangguan kecemasan. Namun dalam konteks skizofrenia, keluarga harus senantiasa memberikan terapi doa untuk penderita skizofrenia. Doa diyakini sebagai cara yang ampuh untuk mengalirkan energi positif dari alam kepada manusia (Urbayatun, 2006). Perspektif spiritual dalam psikologi Islami meyakini bahwa ada yang salah dalam qalbu manusia sehingga ia terkena gangguan psikotik. Terapi psikotik dilakukan dengan cara menyucikan jiwa individu, baru kemudian jiwa tersebut diisi dengan kebaikan (oleh terapis). I. PREVENSI Skizofrenia memiliki basis/dasar biologis, seperti halnya penyakit kanker dan diabetes. Penyakit ini muncul karena ketidakseimbangan yang terjadi pada dopamine, yakni salah satu sel kimia dalam otak (neurotransmitter). Otak sendiri terbentuk dari sel saraf yang disebut neuron dan kimia yang disebut neurotransmitter. Penelitian terbaru bahkan menunjukkan serotonin, norepinefrin, glutamate, dan GABA juga berperan dalam menimbulkan gejala-gejala skizofrenia. Menurut Durand (2007), prevalensi penderita skizofrenia dari populasi umum adalah 0,2% sampai 1,5%. Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa setiap individu memiliki risiko untuk terkena gangguan psikotik ini. Ketidakseimbangan neurotransmitter dapat dicegah dengan cara tidak selalu mengonsumsi obat-obat psikoaktif. Pemakaian obat-obatan psikoaktif yang terlalu sering dapat menyebabkan gangguan halusinasi dan delusi (Durand, 2007). Secara psikososial, penderita skizofrenia harus diterima dengan baik oleh pihak keluarga. Karena penderita skizoferia sebenarnya tidak dapat menerima emosi yang berlebihan dari orang lain (Durand, 2007). Hasil penelitian menunjukkan bahwa intervensi sejak dini merupakan hal yang penting dan bermanfaat dalam mempengaruhi perjalanan penyakit skizofrenia selanjutnya. Sehingga pengobatan secara benar dan penyediaan dukungan serta informasi bagi pasien serta keluarga dapat mencegah kekambuhan di masa yang akan datang (Fausiah & Widury; makalah pembahas) Salah satu strategi untuk mencegah gangguan seperti skizofrenia (yang biasanya tampak pada masa dewasa awal) adalah dengan mengidentifikasi dan menangani anak-anak yang mungkin beresiko untuk mengalami gangguan ini di masa dewasanya kelak. (Durand & Barlow, 2007) Selain itu, faktor-faktor seperti komplikasi kelahiran dan beberapa penyakit usia dini (misalnya, virus) dapat memicu onset skizofrenia, terutama di kalangan mereka yang secara genetik telah terdisposisi. Jadi, intervensi-intervensi seperti vaksinasi berbagai macam virus untuk perempuan usia subur dan intervensi-intervensi yang berhubungan dengan perbaikan nutrisi dan perawatan prenatal mungkin merupakan ukuran-ukuran preventif yang efektif (McGrath, dalam Durand & Barlow, 2006). Ada tiga bentuk pencegahan primer. Pertama, pencegahan universal, ditujukan kepada populasi umum agar tidak terjadi faktor risiko. Caranya adalah mencegah komplikasi kehamilan dan persalinan. Kedua, pencegahan selektif, ditujukan kepada kelompok yang mempunyai risiko tinggi dengan cara, orang tua menciptakan keluarga yang harmonis, hangat, dan stabil. Ketiga, pencegahan terindikasi, yaitu mencegah mereka yang baru memperlihatkan tanda-tanda fase prodromal tidak menjadi skizofrenia yang nyata, dengan cara memberikan obat antipsikotik dan suasana keluarga yang kondusif (makalah pembahas). J. KUALITAS HIDUP PENDERITA Perspektif rentang dan kualitas hidup dapat mengungkap sebagian dari perkembangan penderita skizofrenia. Salah satu di antara beberapa studi adalah penelitian jangka panjang selama 40 tahun. Temuan umum mereka adalah bahwa orang dewasa yang lebih tua cenderung memperlihatkan lebih sedikit gejala positif, seperti delusi dan halusinasi, dan lebih banyak gejala positif, seperti delusi dan halusinasi dan lebih banyak gejala negatif, seperti kesulitan berbicara dan kognitif. Pada intinya, kualitas hidup penderita skizofrenia ditentukan oleh dukungan keluarga dan dukungan sosial yang ia terima (Belitsky dan McGlashan; Durand, 2007). Menurut Durand dan Barlow (2007), penderita skizofrenia tipe paranoia memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan tipe lainnya. Hal ini disebabkan oleh keterampilan afeksi dan kognitif penderita yang relative tidak terganggu. Sementara itu Kaplan, Sadock, & Grebb; Davison & Neale (Fausiah & Widur; makalah pembahas) menjelaskan bahwa prognosis laki-laki lebih buruk dibandingkan wanita. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pria lebih mungkin memunculkan simton negatif dibandingkan wanita, dan wanita tampaknya memiliki fungsi sosial yang lebih baik daripada pria. K.AYAT AL QURAN DAN HADIST                     41. Dan ingatlah akan hamba kami Ayyub ketika ia menyeru Tuhan-nya: "Sesungguhnya Aku diganggu syaitan dengan kepayahan dan siksaan". 42. (Allah berfirman): "Hantamkanlah kakimu; inilah air yang sejuk untuk mandi dan untuk minum". (QS Shad (38) 41-42) Dalam konteks skizofrenia, gangguan psikotik dapat mucul ketika ada stimulus biologis dan lingkungan. Syaithan, dalam bahasa Indonesia dipadankan dengan setan, berarti adalah sifat buruk yang berada pada makhluk. Penderita skizofrenia membutuhkan dukungan keluarga dan dukungan sosial yang besar. Ketika “setan” itu berwujud pada bentuk keluarga dan lingkungan yang tidak mendukung, maka gangguan psikotik ini akan terus terjadi tanpa pengurangan gejala. L. CONTOH KASUS Film Pan’s Labyrinth Film ini menceritakan seorang anak bernama Ofelia yang hidup pada masa perang antara Jenderal Franco yang diktator dan pengikutnya dengan pasukan pemberontak gerilya di Spanyol. Ibu Ofelia, Carmen, baru menikah dengan salah seorang kapten perang bawahan Jenderal Franco bernama Kapten Vidal. Pada masa mengandung anak Kapten Vidal, Carmen dan Ofelia diminta untuk tinggal di tempat penggilingan merangkap rumah peristirahatan milik Kapten Vidal. Kapten Vidal menginginkan anaknya kelak lahir di tempat dia pernah tumbuh. Perjalanan yang jauh dari kota tempat Ofelia tinggal menuju rumah peristirahatan membuat kondisi kandungan Carmen menjadi lemah. Peraturan-peraturan ketat yang dibuat oleh oleh Kapten Vidal di rumahnya serta dorongan dari ibunya untuk selalu menuruti apa yang Kapten Vidal perintahkan, membuat Ofelia tidak nyaman tinggal di rumah tersebut. Ditambah lagi dengan kondisi ibunya yang semakin melemah dan situasi perang yang berkecamuk, semakin membuat Ofelia merasa tertekan Pada suatu malam Ofelia didatangi oleh Peri yang menuntunnya ke sebuah taman labirin yang terletak di sekitar rumah peristirahatan tersebut. Di dalam labirin, Ofelia bertemu dewa tua bernama Faun yang mengatakan bahwa Ofelia adalah titisan dari Putri Moanna dari Dunia Bawah. Ofelia bisa pulang ke Dunia Bawah jika berhasil menyelesaikan tiga tugas khusus. Selama menjalankan tugas khusus tadi, Ofelia melanggar beberapa ketentuan dari ibunya. Misalnya pada saat tugas pertama Ofelia melawan seekor kodok raksasa yang tinggal di bawah sebuah pohon tua. Tugas ajaib ini membuat gaun –yang akan digunakan untuk makan malam bersama relasi Kapten Vidal— buatan ibunya kotor berlumuran lumpur. Pada saat Ofelia memberitahu Faun tentang kondisi ibunya, Faun memberikan akar Mandrake yang harus direndam dalam susu segar, diberi darah setiap hari dan diletakkan di bawah ranjang ibunya. Pada saat Kapten Vidal dan ibunya menemukan akar Mandrake di bawah ranjang, akar tersebut dibakar di perapian di depan Ofelia. Pada saat yang sama Carmen merasa akan melahirkan dan mengalami pendarahan hebat. Hal ini membuat Ofelia semakin yakin mengenai hal-hal gaib yang ditemuinya. Sayangnya Ofelia gagal menjalankan tugas khusu keduanya sehingga Faun marah dan mengatakan tidak akan menemui Ofelia lagi. Kondisi psikis Ofelia semakin diperparah saat ibunya meninggal setelah melahirkan anak laki-laki Kapten Vidal. Pada suatu malam Kapten Vidal dan prajuritnya memergoki Ofelia dan Marcedes (kepala pelayan di rumah tersebut yang juga peduli pada kondisi Ofelia) pergi membantu gerilyawan di hutan. Ofelia kemudian ditampar dan dikurung dalam kamarnya serta tidak diberi makan. Pada saat sendirian di kamarnya, Ofelia didatangi oleh Faun yang memaafkannya dan memberinya satu tugas akhir, yaitu membawa adik bayinya ke dalam labirin. Pada saat yang sama pasukan gerilya menyerbu rumah peristirahatan. Kapten Vidal lebih memilih untuk mengejar Ofelia yang membawa adiknya ke dalam labirin. Di tengah labirin, Faun meminta Ofelia menusukkan pisau ke tubuh adiknya sebagai persembahan agar pintu Dunia Bawah terbuka, tetapi Ofelia menolaknya. Pada saat yang sama Kapten Vidal menemukan Ofelia dan menembaknya dari belakang. Ofelia pun jatuh tersungkur dan akhirnya meninggal. Pada saat-saat napas terakhirnya, Ofelia terbangun dan telah berada di Kerajaan Dunia Bawah disambut oleh ibu dan ayah kandungnya. Tetapi pada perspektif yang berbeda diperlihatkan Ofelia yang berlumuran darah dan sekarat dipeluk oleh Marcedes di tengah labirin. Analisa yang kami berikan adalah Ofelia memiliki gejala-gejala positif skizofrenia seperti delusi dan halusinasi. Akibat tekanan yang keras dari ayahnya, ia mencoba mengalihkan realita kebahagiaan pada dunia peri. Karena itulah, ofelia tergolong mengalami gangguan skizofrenia tipe paranoid, dimana ia lepas dari realita dan mengalami delusi serta halusinasi. Ofelia juga mengalami waham grander, dimana ia meyakini bahwa dirinya adalah putri dunia bawah. Menurut DSM-IV-TR (2008), teman khayalan (peri, dsb) adalah bentuk dari disorganized thinking (gangguan berpikir). Pada tahapan ringan, gangguan berpikir membuat individu tidak mampu membedakan kondisi nyata dan fantasi. Untuk kasus yang berat, individu bahkan dapat mengalami ketidakmampuan mengolah kata-kata untuk menjadi sebuah kalimat. Fitur tersebut menjadi pembeda antara gangguan berpikir dengan delusi. Penyebab munculnya teman khayalan bisa sangat bervariasi dan kasuistik, karena terkait dengan disorganized thinking. Bisa jadi karena individu memang memiliki faktor risiko yang cukup besar atau karena teman khayalan menjadi bentuk pelarian individu dari realita. KESIMPULAN Skizofrenia adalah gangguan jiwa serius yang bersifat psikosis sehingga penderita kehilangan kontak dengan kenyataan dan mempengaruhi berbagai fungsi individu, seperti afeksi dan kognitif. Penderita Skizofrenia juga dapat digolongkan dalam beberapa jenis berdasarkan gejala khas yang paling dominan. Tiap jenis selalu ditandai dengan gejala positif dan negatif yang berbeda porsinya. Gejala positif adalah penambahan dari fungsi normal, contohnya halusinasi yaitu persepsi panca indera yang tidak sesuai kenyataan. Sedangkan gejala negatif berarti pengurangan dari fungsi normal seperti kehilangan minat dan menarik diri dari lingkungan sosial. Hingga saat ini penyebab utama Skizofrenia masih menjadi perdebatan di kalangan ahli psikiatri maupun psikologi. Karna itu untuk dapat memahaminya diperlukan multiperspekif yaitu dari sisi biologis, psikologis, sosial dan spiritual. DAFTAR REFERENSI Jurnal Clarke, C, Antti Tansken, Matti Huttunen, John C. Whittaker, and Mary Cannon. 2009. Evidence for an Interaction Between Familial Liability and Prenatal Exposure to Infection in the Causation of Schizophrenia. Journal of Psychiatry. Hoaki, dkk. 2009. Negative Symptoms in Schizophrenia Respond to Milnacipran Augmentation Therapy: A Case Report. Jurnal of Psychiatry. 12: 32-34. Lenzenweger, Mark et al. 2007. Resolving The Latent Structure of Schizophrenia Endophenotypes Using Expectation-Maximization-Based Finite Mixture Modelling. Journal of Abnormal Psychology, vol. 116, 16-29. American Psychological Association. Mesholam-Gately, Raquelle et al. 2009. Neurocognition in First-Episode Schizophrenia: A Meta Analytic Review. Journal of Neuropsychology, vol. 23, 315-336. American Psychological Association. Urbayatun, Siti. 2006. Psikoterapi Doa sebagai Alternatif Mengatasi Gangguan Jiwa Ringan. Jurnal Psikologi Islami, vol. 2, 31-37. Buku Adz Zakiey, Hamdani Bakran. 2007. Psikologi Kenabian. Yogyakarta: Beranda. Al Quran dan Terjemahan. 2007. Bandung: Penerbit Diponegoro. American Psychiatric Association. 2008. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder 4th Edition Text Revision. Washington DC: Arlington VA. Alwisol. 2007. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press. Arif, Iman Setiadi. 2006. Skizofrenia: Memahami Dinamika Keluarga Pasien. Bandung: PT. Refika Aditama. Durand, V. Mark dan David H. Barlow. 2007. Intisari Psikologi Abnormal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.